Menyadarkan si Pemalas

Sepulang dari sebuah event Blogger beberapa waktu lalu, dikarenakan macet parah saya memutuskan naik ojek dari perapatan Cileungsi menuju rumah. Biasanya saya memang lebih memilih naik angkot atau berjalan kaki saja jika ngga membawa mobil.

Melihat saya sang abang ojek tersenyum lebar, tampaknya dia masih mengenali saya. Dulu, semasa masih ngantor saya selalu mengandalkan ojek prapatan. Saat itu setiap pulang kerja dari Kedoya sampai Cileungsi pasti sudah di atas jam 9 malam. Itulah sebabnya, saya di mata para abang ojek sudah familiar sekali.

Abang ojek yang namanya entah siapa, menyangka saya baru pulang kerja. Katanya, "Ibu mah enak, ngga kaya saya dari dulu mah begini-begini aja, ngojek doang."

Mengingat keluhannya yang omzetnya hanya pas-pasan saja, saya mengusulkan padanya untuk beralih ke Gojek. Saya berfikir, toh sama-sama berstatus ngojek tapi dengan Gojek pendapatannya katanya bisa mencapai Rp 12 juta kan. Bukannya menyambut, dia beralasan cape harus menempuh jarak jauh.

Lantas, maunya gimana dong? Terus terang saya geregetan dengan jawabannya itu. Katanya, dalam sehari dia santai aja mangkal di prapatan. Jika sudah 5 orang yang rata-rata tarifnya Rp 10 ribu dia akan pulang. Saya katakan, saya kerja apa saja dijabanin. Saya ngga boleh malas karena kebutuhan hidup sangat banyak.

Di kampung yang berdempetan dengan perumahan saya, bukanlah hal aneh jika berjumpa dengan penduduk asli setipe abang ojek ini. Jika pada umumnya para bapak-bapak adalah sosok yang bertanggung jawab dalam urusan kelangsungan dapur rumah tangga, sebaliknya mereka cenderung malas.

Begitu pun dengan yang perempuan. Sebagai contoh namanya Bi Samih. Saya tau dia sudah ajeg kerja jadi buruh cuci gosok, lain waktu saya lihat dagang nasi uduk. Cape jualan nasi uduk, ganti lagi jadi pelayan rumah makan padang. Terakhir dia keliling dagang gorengan risol dan susu kedelai setiap pagi. Pernah dia ke rumah hanya untuk meminjam uang untuk bayar listrik yang nunggak. Astaga, sebegitu sulitnyakah? 

Saya ngga terlalu mengerti gimana cara mereka berpikir dan menanggapi masalah sehari-hari itu sangat santai sekali. Kesannya, bodo amat. Pernah saya berniat mendayagunakan kemampuan perempuan-perempuan di kampung sebelah dengan mengajarkan ilmu kerajinan tangan yang saya punya. Mereka melihat saya panen orderan kaos aplikasi nama untuk perpisahan TK dan dilanjutkan dengan orderan toples flanel jelang hari raya yang mencapai hampir 8 lusin.

Dasar memang otak rata-rata isinya 'duit' aja, belum apa-apa sudah ada yang keceplosan, "berani bayar berapa, Bu?"

Jlebb. Mencelos hati saya. Saya ngga bisa kasih gaji memang, tapi setidaknya dia ga usah bayar sama sekali dengan diberi kursus gratis dari saya. Sementara, untuk bisa menjadi trampil pun saya harus beli aneka buku kerajinan tangan di Gramedia. Untuk ilmu gratisan via berbagai tutorial di google saya tetap membeli kuota juga kan. Semua ga ada yang gratis.

Harapan saya itu sebenarnya sederhana, jika mereka bisa ajeg mandiri, punya usaha kerajinan tangan yang bisa disambi dengan pekerjaan rumah tangga alangkah asik sekali, kan? Ngga usah jadi babu lagi, ngga usah pontang panting cari modal dagang nasi uduk lagi, ngga usah getok-getok pintu tetangga lagi demi cari utangan.

Tapi saya sadar, yang bisa mengubah nasib seseorang hanya dirinya sendiri. Toh saya hanya jadi jembatan jika aja mereka mau mengubah nasib. Andai saja mereka mau mengubah pola pikirnya ya??

Tidak ada komentar