Sejak mba Nala masih SD dan aktif dengan kegiatan drumband sekolahnya, saya selalu mengikutinya kemana-mana setiap ada pertandingan. Menang kalah sih urusan belakangan, tapi dukungan penuh dengan mendampinginya merupakan cara saya untuk menguatkan mentalnya. Kebetulan memang waktu saya banyak yang luang saat itu maka ya seperti begitu itulah kesibukan saya sehari-hari. Mengantar anak sekolah, mengantar anak les bahasa Inggris, juga sekaligus menjadi supporter sejati lomba yang diikuti anak-anak.
Ngga heran karena seringnya saya nongol di acara-acara lomba, teman-temannya mba Nala sebagian besar juga kenal dan akrab. Bahkan mereka juga ngga malu untuk minta tolong ini itu seperti touch up make up bahkan membantu memasang property yang digunakan di kostum mereka. Bedanya, kalau masih SD dulu, mereka masih rada malu-malu jadi mamanyalah yang colek-colek saya. Nah, kalau di SMP ini lain lagi, karena apa-apa mereka sudah mandiri ya mereka sendiri yang mau ga mau colek-colek, “Tante, tolong bedakin dong. Tapi jangan tebel-tebel ya.” “Mama Nala, pasangin peniti dong, koq miring-miring sih kalo pake sendiri.” Atau, tanpa kata-kata berbaris rapilah mereka dalam antrian ketika saya sedang mendandani salah satu temannya hahaha…
Eh tapi bener juga kata pepatah, lain dulu lain sekarang. Kegiatan Drumband ketika SD berganti menjadi Paskibra. Lomba untuk ekskul Paskibra yang diikutinya namanya LKBB atau Lomba Ketangkasan Baris Berbaris. Kebetulan dari beberapa kali lomba yang dia ikuti seringnya saya tidak bisa hadir mendampinginya untuk menjadi supporter karena suatu hal.
Mengetahui kesibukan saya yang semakin banyak akhir-akhir ini, Mba Nala mengerti banget. Woles aja dia ketika ibunya hadir atau sama sekali ngga hadir mendukung dia di arena lomba. Justru malah ketika saya dampingi di suatu lomba, dia cenderung berkelompok dengan teman-temannya daripada memilih menemui saya. Sakit hati? Aah, ngga. Udah bedalah keadaannya, dulu kan dia masih kecil sekarang udah gede, ya kan?
Meski begitu, bentuk dukungan saya ngga pernah lepas padanya. Saya serahkan penuh hak otoritas padanya untuk memilih. Mau ikut lomba atau ngga? Jika ikut berarti harus latihan keras selama berminggu-minggu. Siap atau ngga? Jika siap berarti jangan ngomel-ngomel jika kecapean latihan sementara masih harus belajar lagi karena esok paginya ada ulangan. Konsekwensi selalu ada di setiap pilihan yang diambil, kan?
Oiya mengenai menang versus kalah. Saya punya tips yang yang dia ngga tau sama sekali lho. Setiap saya ngga menghadiri lomba yang dia dan pasukan paskibranya ikuti, artinya saya ngga ada info langsung mengenai menang kalahnya. Saya ngga tega sama sekali, jadi saya sama sekali ngga pernah menanyakan bagaimana hasilnya. Tapi jika rasa penasaran mendera, saya menelponya hanya untuk bertanya, “Mau pulang sendiri atau dijemput, Mba? Kalau mau dijemput nanti dijemputnya jam berapa?”
Nah, biasanya nih, saya tau dari caranya berbicara di telepon. Jika bersemangat itu menunjukkan tanda euphoria kemenangan yang masih tersisa. Jika kalah, cara berbicaranya pasti ngga bersemangat. UDah cukup. Sesampainya bertemu, saya cuma peluk dan menguatkan mentalnya, “biasa pahlawan mah munculnya belakangan, Mbak. Liat aja ntar!”
Tidak ada komentar