Diskusi Bedah Buku Melawan Konspirasi Global di Teluk Jakarta



Beberapa waktu lalu saya pernah menulis kasus PHK pekerja pelabuhan peti kemas di Tanjung Priuk, Jakarta Utara. PHK ini bukan PHK biasa. Ribuan karyawan oursourcing JICT diberhentikan sepihak karena ada perusahaan lain yang memenangkan tender atas pekerjaan kontrak di JICT. Duh, miris saya membayangkan nasib keluarga dan ekonomi mereka selanjutnya gimana. Boro-boro hidup dengan layak, asal bisa mendapat penghasilan mereka nrimo saja menjalani takdir hidupnya sekian tahun. Bahkan ada yang sudah kerja puluhan tahun tapi ujungnya koq seperti ini?

Persoalan PHK karyawan outsorcing JICT rupanya hanyalah segelintir masalah intern di PT Jakarta International Container Terminal ini yang terkuak. Jika ditelisik lebih dalam lagi nyatanya ada masalah yang jauh lebih besar daripada persoalan kenaikan upah, tunjangan hari raya, atau PHK semata. Sangat besar malah karena  melibatkan negara kita dan pihak asing. Berikut ini linknya

Saya sendiri pun awalnya hanya memandang sebelah mata saja pada kasus ini. Sampai akhirnya ketika membaca sekilas isi buku Melawan Konspirasi Global di Teluk Jakarta baru-baru ini saya jadi tertegun. Persoalan korupsi hingga merugikan negara trilyunan rupiah diulas dengan sangat jelas dan runut. Apalagi ada indikasi penguasaan pelabuhan oleh pihak asing sejak bertahun tahun lalu yang membuat saya terkesiap. Koq bisa ya???




Kehadiran buku sejak diterbitkan pada Mei 2018 lalu ini memang membuat siapapun - termasuk saya - yang membacanya terkaget-kaget. Tidak heran diskusi bedah buku ini selalu mengundang perhatian berbagai kalangan. Seperti baru-baru ini pada tanggal 15 Agustus 2018 silam untuk ke sekian kalinya Serikat Pekerja JICT selaku penggagas kembali mengadakan diskusi bedah buku Melawan Konspirasi Global di Teluk Jakarta. Berbeda dari sebelumnya, kali ini lokasinya bukanlah di Jakarta tapi di Sanggar Maos Tradisi Sleman, Yogyakarta.

Adapun mengapa Yogyakarta yang terpilih sebagai lokasi diselenggarakannya diskusi ini tidak lain karena Yogya adalah kotanya para pelajar dan dihadiri para akademisi. Targetnya, karena buku ini nantinya akan masuk ke kampus-kampus di seluruh Indonesia maka siapapun yang membacanya dapat memahami bahwa persoalan pelik ini bukanlah soal rebutan pelabuhan semata.



Sebagaimana disampaikan Firman perwakilan SP JICT dalam sambutannya, "SP JICT akan melakukan roadshow ke kota-kota agar masyarakat mengetahui bahwa pelabuhan seharusnya dikelola oleh anak bangsa sendiri. Kami tidak anti investasi asing tapi kami ingin pelabuhan dikelola oleh anak bangsa Indonesia sendiri."

FYI aja, pengelolaan pelabuhan yang selama ini dikerjakan Jakarta International Container Terminal kembali diperpanjang kontraknya untuk kedua kalinya di tahun 2014 dan berlaku hingga tahun 2039 kelak. Padahal masa kontrak jilid pertama saja selesainya tahun 2019 nanti.


Dan faktanya, perpanjangan kontrak antara JICT, Pelindo II dan Hutchison tersebut dilakukan tanpa adanya tender terbuka. Padahal, selama 20 tahun dipegang JICT dan TPK Koja sudah banyak kemajuan dan terobosan yang diraih pekerja JICT demi mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tapi kenapa koq malah bukannya dipercayakan ke anak bangsa pengelolaannya, tapi ke pihak asing yakni Hutchison. Ada apa dibalik itu semua?

Salah satu penulis buku Melawan Konspirasi Global di Teluk Jakarta yang turut hadir dalam diskusi Ahmad Khoirul Fata menyampaikan, "kami tertarik menulis buku ini karena ini adalah isu global yang penting diangkat."

"Buku ini meskipun ditulis dalam masa yang singkat yakni sebulan saja tapi isi di dalamnya adalah sesuai dengan data. Kami telah mengadakan riset dan wawancara dengan berbagai pihak. Dan bisakah  dibayangkan bagaimana beratnya beban mental yang disandang terkait adanya teror yang terjadi pada kami semua selama proses penulisan. Kaca mobil mas Nova (ketua FPPI) ditembak, teman kami di PHK dan lainnya."


"Sudah seharusnya aset negara yakni pelabuhan harusnya dipegang anak bangsa. Kita punya sejarah panjang dalam mengelola laut, koq kenapa sekarang kita tidak bisa mengelola sendiri, kenapa harus oleh pihak lain?"

Dalam diskusi yang bertemakan refleksi kemerdekaan atas kedaulatan pelabuhan Indonesia ini hadir pembicara yang menyoroti dari berbagai sudut pandang sesuai keahliannya, sebagai berikut :

Dr. Arie Sujito, Sosiolog UGM
Dr. Aris Arief Mundayat, Dosen Lembahanas
Nova Sofyan Hakim, ketua Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia (FPPI)

Terkait dengan tema, semua narasumber sepakat menyatakan bahwa pelabuhan memiliki peran penting terhadap suatu negara. Karena pelabuhan adalah kawasan strategis dan simbol kedaulan negara. Terlebih sejak dahulu perairan nusantara telah menjadi poros pelayaran perdagangan Internasional. Dengan diprivatisasi kepada pihak asing sama saja mengobral pertahanan negara.

Dan lagi, bila kita masih ingat dengan 9 agenda program yang digulirkan presiden Jokowi tahun 2014 silam. Namanya Nawacita. Tujuan program ini digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik,  serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Akan tetapi hal tersebut berbenturan karena dalam kenyataannya pengelolaan gerbang ekonomi Indonesia yaitu terminal petikemas JICT dan TPK Koja Jakarta Utara sampai kini masih dikuasai oleh pihak asing.


Seperti disampaikan Dr. Aris Arief Mundayat, "Pola pengelolaan pelabuhan seharusnya adalah 52% harus dimiliki Indonesia. Sisanya 49% baru milik asing. Jangan terbalik. Kedaulatan negara bisa menurun dan otoritas negara bisa berkurang."

"Presiden Jokowi sudah membangun pelabuhan hingga ke Indonesia Timur. Ini adalah potensi yang luar biasa di masa yang akan datang," tegasnya.

Itulah sebabnya kehadiran buku ini dapat membukakan kenyataan yang dapat dipahami semua lini bahwa perkara ini bukanlah masalah uang semata. Tapi jauh lebih dahsyat dari itu. Dan perlu kita sadari bahwa perjuangan ini tidak seharusnya dilakukan oleh SPJIT sendiri tapi semua stakeholder pun bergerak.



Tidak ada komentar