Pilih Mana, Wariskan Harta Atau Sengketa?



Alhamdulillah, berkah luar biasa ketika mendapat undangan lagi dari IDLC untuk hadir dalam seminar rutin diselenggarakannya. IDLC atau Irma Devita Learning Center merupakan learning center yang sifatnya inklusif. Tak hanya praktisi hukum yang bisa mengikuti pelatihan dan seminar seputar hukum tapi masyarakat awam pun bisa. Saya sendiri sudah beberapa kali mengikuti seminar. So far puas banget dengan materi yang diangkat dan disampaikan dengan gaya diskusi yang renyah.  😍

Bertempat di Ibis Tamarin Hotel, Jakarta, Senin, 8 Juli 2019, topik seminar yang rutin digelar setiap bulan ini mengupas seputar sengketa warisan. Saya akui masalah ini memang rumit. Jangankan masyarakat umum yang buta hukum, tema ini juga menarik kalangan praktisi hukum. Tak heran sebanyak 50 Notaris, Lawyers dan Corporate Perusahaan dari Semarang, Bogor, Malang, Palembang, Batam, Kalimantan dan Lampung khusus datang menghadiri seminar sehari ini. Oh iya, ada beberapa yang familiar. Rupanya mereka memang pelanggan setia seminar IDLC. Wah salut deh 😍 



Seperti biasa, mba Irma Devita Purnamasari, S.H, M.Kn selaku founder IDLC yang juga seorang penulis buku tentang hukum menjadi narasumber utamanya. Kali ini beliau menggandeng Glenna Martin, S.H, M.Kn dan seorang dosen yang juga pakar hukum islam yakni Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, M.Kn untuk menyampaikan materi dari ilmu kepakarannya. 

Adapun materinya lumayan banyak. Berikut topik materinya : 
1.  Pengertian warisan menurut hukum waris islam dan hukum waris perdata barat. 

2. Waris terhadap perkawinan campuran (beda agama dan kewarganegaraan)

3. Pemilikan tanah yang berasal dari hibah maupun warisan

4. Kupas tuntas pembagian warisan menurut hukum islam 

5. Wasiat untuk mencegah potensi sengketa dari ahli waris

6. Keterangan waris dan wasiat. 

Keenam materi yang berkaitan dengan sengketa memang menarik untuk dibahas. Pasalnya -kalau kita perhatikan- dalam harta warisan selalu ada 'celah' yang bisa dijadikan sengketa. Terlebih negara kita menganut azas demokrasi dan masyarakatnya sendiri berkarakter multietnic. Sehingga dalam landasan putusan seorang praktisi hukum tentu tak bisa begitu saja menegakkan putusan. Ada rujukan yang jadi acuan. Apakah mau pakai hukum Islam, hukum adat atau hukum perdata barat? 



Apa Itu Warisan?

Nah sebelum kita mengupas satu-satu materinya mungkin teman-teman sudah paham arti waris. Waris atau warisan adalah harta peninggalan yang diberikan kepada yang berhak. Mengacu dari hukum perdata Barat warisan diberikan dari orang tua pada anak atau keturunannya. 

Namun dalam pelaksanaannya selain anak-anak ada ahli waris lain yang berhak mendapatkan harta waris. Agama Islam mengelompokkan ahli waris menjadi tiga golongan : Ashabul Furudh, Ashabah dan Dazail Arham. 




Sedemikian pentingnya pengelompokkan ahli waris maka agama Islam juga menentukan siapa saja yang bisa jadi penghalang atas hak ahli waris. Termasuk diantaranya adalah orang yang berbeda agama. 

Akan tetapi meskipun berbeda keyakinan tidak serta merta si anak ini kehilangan haknya, lho. Ada yang namanya hibah dan wasiat sebagai bentuk pengalihan penerima harta. Ini sifatnya kerelaan jadi tak ada hitungannya harus berapa persen dari total harta peninggalan yang dihibahkan. Dan kapan diberikannya tak harus disegerakan seperti halnya warisan. 

Kembali ke masalah yang umum terjadi seputar warisan adalah pembagiannya tak dibagi segera sejak adanya kematian. Jujur, rasanya tak elok ya membicarakan harta warisan ketika tanah kuburan orang yang kita cintai masih basah. Namun masalah sengketa sebaiknya memang harus dihindari. Sebab itu agama Islam menyarankan untuk menyegerakannya. 



Macam-macam Sengketa 

Lantas bagaimana kalau ada pasangan yang poligami atau punya anak di luar nikah, atau punya anak adopsi atau punya anak angkat. Atau bagaimana dengan pasangan suami istri  yang beda agama, atau pindah agama, atau menikah dengan warga negara asing?  Apakah mereka berhak menerima warisan? 

Mba Irma mengajak kita kembali ke prinsip dasarnya yakni warisan berlaku bila ada hubungan darah, ada perkawinan, memerdekakan budak dan untuk sedekah di baitul Mal. Terkait hubungan darah maka ibu dan anak kandung secara otomatis saling terkait sebagai waris. 



Namun seringnya perkawinan terjadi begitu saja. Jarang sekali suami dan istri memisahkan harta bawaannya dalam perkawinan. Padahal percampuran harta berpotensi menyebabkan sengketa saat terjadi perceraian atau poligami. Kalau cerai mati sih aman. Karena secara otomatis 1/2 harta akan menjadi milik pasangan yang ditinggalkan. Namun kalau sang suami menikah lagi, kemudian menikah lagi, kemudian menikah lagi sehingga sang istri ke empat ini di kemudian hari mengklaim harta bisa runyam urusannya. 

Ayo kita bayangkan. Misalkan saja ada perkawinan yang hartanya tercampur. Kebetulan harta bawaan istri jumlahnya lebih besar dari milik suaminya. Seiring perkawinan, harta bersama mereka meningkat jumlahnya dan suami kemudian menikah lagi sampai punya empat istri. 



Dari kacamata hukum islam, sejatinya istri memiliki setengah harta bersama yang didapat dari perkawinan. Namun bagaimana pembagiannya kalau harta tercampur-campur? Ribet kan menelusurinya lagi kalau istri kempat ini misalnya mau menjaminkan rumah ke 
Bank? Tentu akan sulit diproses. Nah ini jadi PR di kalangan notaris karena bisa saja terjadi tipu-tipu saat wawancara dengan pihak Bank. Entah menggunakan KTP palsu atau menghadirkan orang palsu 😖

Ada lagi masalah yang pernah heboh di era 2000-an. Soal anak dari pernikahan siri antara pejabat Orde Baru dengan seorang penyanyi dangdut asal Kalimantan Selatan. Saat itu demi mendapat status hukum agar anaknya 'diakui' jalan berliku ditempuh sang penyanyi dangdut sampai ke MK. Alhamdulillah putusan MK melegakan. Anak yang lahir di luar perkawinan sah - dan dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan dan teknologi - selain mempunyai hubungan darah dengan ibu dan keluarganya juga memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarganya. Sedangkan anak dari hasil incest ataupun hasil zinah (masing-masing pasangan masih memiliki pasangan sah) tidak diakui. 



Nah, di sini jelas ya kalau penentuan hukum baru bisa berlaku bila ada bukti. Maka bila pasangan suami istri dari pernikahan siri ingin mendapatkan status hukum anaknya dapat mengikuti isbat perkawinan. Isbat perkawinan berguna untuk mengesahkan pernikahan secara formal sekaligus memudahkan pengurusan dokumen terkait anak yakni akte lahir. FYI, masyarakat yang tak punya akte nikah akan kesulitan dalam mengurus dokumen kependudukan. Dokumen kependudukan tersebut tentunya akan berguna untuk melindungi anak-anak yang lahir dari perkawinan. 

Bukti pemeriksaan dokter juga diperlukan saat seseorang yang dalam kondisi kritis membuat wasiat. Tentu secara kesantunan rasanya tak pantas ya?  Tapi lagi-lagi demi menghindari sengketa di kemudian hari mba Irma membolehkannya. Asalkan si pasien masih bisa berkomunikasi, otaknya masih jalan dan ada surat pemeriksaan dari dokter sebagai bukti. Begitupun kalau pasien mengidap demensia atau pikun. Siapa yang bisa membuktikan penyakitnya kalau bukan dokter? Maka medical record bisa dijadikan penguatan atas bukti untuk membuat keterangan waris. 

Makanya jadi ahli waris belum tentu enak, teman-teman. Karena ahli waris akan menerima sepaket warisan berupa harta peninggalan maupun hutang yang ditinggalkan. Dalam hukum Islam sudah menjadi tanggung jawab ahli warislah untuk menyelesaikan hutang piutang demi kewajiban moral atas roh yang tergantung di alam fana. Tapiiiiiii, masih ada celah nih dalam hukum perdata Barat. Ahli waris bisa saja mengajukan untuk tidak dicatatkan sebagai ahli waris karena mungkin pertimbangannya tidak mau menanggung hutang peninggalan yang diwariskan. Hayoo mau pilih yang mana?😛


Peserta seminar membeli buku-buku yang ditulis Irma Devita. 






















Tidak ada komentar