Melati di Taman Keberagaman, Sebuah Ajakan Bagi Perempuan Merawat Kebhinekaan



Kamu kan perempuan. Ga perlulah sekolah tinggi-tinggi. Nanti akhirnya di rumah juga, kan? 

Hmmm, kalau begitu semua orang ga usah sekolah aja. Toh pada akhirnya, akan tinggal di dalam tanah juga, ye kan? 

Ting tong... 

Persoalan yang terjadi pada perempuan ibarat gunung es. Masih banyak cerita kelam di luar sana yang membuat hati tercabik-cabik. Tapi bisa apa saya? Kekuasaan tak punya. Kepintaran seadanya. Keberanian seperti kerupuk direndam air. Apa yang dapat saya lakukan ketika melihat seorang perempuan menerima intimidasi, baik itu pelecehan dari atasan, kawin paksa ataupun masalah KDRT dari suaminya. Mau mengadu ke mana? Mau melawan? Alih-alih mendapat support, yang ada malah dicibir dan dikata-katai. Ngeriii!


Beruntung saya diundang Grasindo, penerbit buku mayor yang juga bersaudara dengan Gramedia dalam peluncuran buku 'Melati di Taman Keberagaman' pada 30 Oktober 2019 silam di gedung Perpusnas RI, Jakarta. Mindset saya yang selama ini terjebak antara bersikap sebagai perempuan Jawa yang dituntut untuk nrimo dan pasrah dibenturkan dengan berani bersuara untuk kebenaran. Luar biasa!


Ibu Hilda, panggilan akrab Mathilda AMW Birowo mengatakan, "Kita, perempuan, sejatinya memiliki nilai-nilai kepemimpinan tanpa kita sadari. Sejak lahir kita tidak dilatih bagaimana membesarkan anak, mengurus rumah tangga, mengurus keuangan dan lain sebagainya. Tapi rupanya kita bisa. Nyatanya kepemimpinan bisa dipraktekkan sambil berjalan."  

Sayangnya fenomena sekarang menunjukkan naluri kepemimpinan perempuan ditunjukkan dengan perannya dalam gerakan radikalisme, intoleransi dan terorisme. Ini membuktikan bahwa peran perempuan tak lagi bersifat indivual, melainkan sebagai pelaku utama yang memiliki kekuatan. 

Nah, kalau perempuan bisa direkrut menjadi pelaku aksi seharusnya lebih mudah juga mengajak mereka menjadi agen perdamaian. Apalagi perempuan memiliki passion keibuan dan insting yang memungkinkannya lebih mudah memelihara perdamaian dan meredakan konflik.
"Melalui buku ini saya ingin agar perempuan melek kepemimpinan dan memiliki leadership literacy. Karena kepemimpinan bukan hanya milik orang yang duduk di posisi puncak. Nilai kepemimpinan ada di setiap diri kaum perempuan. Apakah kita mau berdiam diri terus? Mari kita memahami potensi diri, berani bersikap, bersuara dan merebut peluang yang ada. Jangan lagi ada pelor (pelaku teror) di antara kita." ~ Mathilda AMW Birowo. 

Pengalaman ibu Hilda memang luar biasa. Selama tiga puluh tahunan berkecimpung di dunia public relation beliau memiliki banyak kisah soal perempuan yang menarik untuk dikisahkan. Tak heran buku ini lahir atas pengalamannya selama mengikuti kursus kepemimpinan perempuan lintas agama di Melbourne Australia. "Sayang pengalaman ini kalau tak saya rekam dalam sebuah media agar dapat dinikmati dan dipelajari oleh banyak orang khususnya kaum perempuan," jelasnya. 

Sedikit mengintip, buku Melati di Taman Keberagaman berisi tiga aspek yakni perempuan, kepemimpinan dan keberagaman yang dikumpulkannya dari Kelompok PELITA - Perempuan Lintas Agama. Penjelahan 27 pemimpin perempuan lintas organisasi berbasis agama selama di Australia yang dikenal dengan negara multikultural akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaan seputar ketiga aspek tersebut. 



Mengambil moment hari Kesaktian Pancasila dan Hari Sumpah Pemuda, dalam rangka peluncuran buku Melati di Taman Keberagaman hadir juga  talkshow bertema 'Kepemimpinan Perempuan dalam Merawat Kebhinekaan' bersama perempuan-perempuan hebat. Mereka adalah : 

1. Mathilda AMW Birowo - Public Relation Specialist yang juga penulis buku Melati di Taman Keberagaman ; 
2. Prof. DR. Musdah Mulia - Ketua Umum Yayasan ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace); 
3. Hermin Kleden - Senior Jurnalist dan Media Mentor ;
4. Ayu Kartika Dewi - founder Millenial Islami dan program Sabang Merauke sebuah program pertukaran pelajar antar daerah yang bertujuan untuk menanamkan nilai kebhinekaan.  

Astaga, intermezzo sejenak, ya. Jadi beberapa bulan lalu, dalam rangka peringatan hari anak, saya menghadiri konferensi pers Sabang Merauke. Selama 10 hari pelajar SMP yang telah lolos seleksi dari berbagai daerah tinggal dengan orang tua asuh yang berbeda keyakinan. 
Toleransi tidak bisa diajarkan, toleransi harus dialami dan dirasakan, ~ Ayu Kartika Dewi 

Selama tinggal bersama orang tua asuh Sabang Merauke mengajak adik-adik kelas 7 - 9 membuka cakrawalanya yang selama ini mungkin ketakutan karena sering dicecoki prasangka dari orang-orang terdekatnya. Ini bukti bahwa rasa takut, curiga dan prasangka menandakan toleransi negara kita belum baik. Sehingga setelah pulang kembali ke daerahnya pelajar-pelajar terpilih ini bisa menjadi duta perdamaian di lingkungannya. 

Lain lagi dengan Millenial Islami. Kalau Sabang Merauke berbentuk pertukaran pelajar, Millenial Islami menggunakan konsep daring di media sosial dan offline dengan roadshow ke banyak universitas untuk mencegah radikalisme dan membumikan pandangan islam yang moderat bagi millenial di usia 18 - 25 tahun. 

Mba Ayu sempat membagikan cerita lucu yang menohok. Dirinya pernah diejek dengan kalimat yang intinya "Perempuan tidak bisa jadi pemimpin karena otak perempuan tuh hanya separuh." Bukannya marah, perempuan yang pernah jadi pembicara di Indonesian Development Forum 2019 malah tertawa sambil bilang, "separoh aja bisa kaya gini, ya, gimana kalau otaknya penuh?"

Kereeen jawabanmu, mbaa 👏 😍 *silakan googling track record pendidikan mba Ayu

Sekedar informasi, bagi yang  tertarik memiliki buku selama acara launching buku Melati di Taman keberagaman dijual dengan harga spesial Rp 120.000. Selanjutnya, buku ini akan nangkring di toko-toko buku besar dengan harga Rp. 135.000. 



Penjualan buku akan didonasikan untuk membantu suster Cargo di NTT. Siapa dia? Setiap hari suster Laurentina yang akrab dipanggil suster Cargo setia menunggu di terminal kargo bandara El Tari Kupang. Dia menanti jenazah pekerja imigran. Tanpa kenal lelah dia mendampingi keluarga dan mendoakan jenazah korban traficking sebelum diterbangkan ke tanah asalnya. Masya Allah. 

Selain suster Cargo, penjualan buku ini juga disalurkan untuk pembangunan sekolah di Papua pasca kerusuhan melalui Kitong Bisa Learning Center. 



Semoga melalui buku Melati di Taman Keberagaman, praktik kepemimpinan inklusif di Indonesia dan Australia bisa mewakili berbagai pertanyaan mengapa perempuan seringkali dinomorduakan dalam arus kepemimpinan, bagaimana peran perempuan dalam menghadapi isu radikalisme. 

Dan pada akhirnya kita semua sepakat dengan bu Hilda untuk bergandengan tangan, tidak mencari panggungnya sendiri-sendiri dalam merawat kebhinekaan melalui lingkaran terkecil yang kita miliki. Mulai dari keluarga, komunitas hingga circle yang lebih luas lagi yakni bangsa. Bismillah. 

What can you do to the promote world peace? Go home and love your family ~ Mother Teresa. 










Tidak ada komentar