Sepiring Ketupat Kacang di Pasar Ciseeng

Ketupat kacang pasar Ciseeng
Ketupat Kacang Pasar Ciseeng 


Kadang, hal yang paling berkesan justru datang dari sesuatu yang sederhana.

Seperti pagi itu, waktu saya mampir ke Pasar Ciseeng di daerah Parung, Bogor. Tujuan awalnya cuma mau belanja bahan-bahan buat acara keluarga di rumah. Mulai dari bumbu dapur, ayam, tahu, tempe, aneka lalapan, hingga bahan perbakso baksoan. Taapi seperti biasa, kalau sudah ke pasar tradisional, saya sering kebablasan. Ada aja yang bikin berhenti dan pengin nyicip.

Di bagian belakang pasar, mata saya tertuju pada satu warung sederhana. Meja kayunya dilapisi taplak bermotif cokelat, dengan tumpukan ketupat daun yang disusun tinggi. Di belakang meja, seorang ibu berhijab kuning sedang sibuk melayani pembeli sambil sesekali tersenyum. Sepertinya antara penjual dan pembeli sudah saling mengenal. Yes, dari jauh udah kelihatan, ini pasti tempat makan yang “nggak neko-neko tapi enak.”

Satu Porsi Ketupat Kacang

Warung itu menjual ketupat kacang, kuliner khas Ciseeng yang katanya sudah ada sejak tahun 60-an. Sekarang udah generasi ketiga yang meneruskan, dan yang menarik, semuanya masih disajikan seperti dulu. Meja kayunya masih sederhana, bumbunya tetap disiapkan manual, dan cara penyajiannya pun masih sama. 

Isi dalam satu porsinya sederhana: potongan ketupat dari daun kelapa, tahu goreng yang dipotong-potong, disiram bumbu kacang kental dari panci besar, taburan bawang goreng, dituang kecap manis, dan kerupuk di atasnya. Kalau mau pedas, tinggal bilang aja. Nanti penjualnya akan menyendokkan sambal ke atasnya. Udah gitu aja, tapi justru itu yang bikin khas.

Rasanya? Mirip doclang khas Bogor, cuma versi yang lebih minimalis karena nggak pakai telur dan kentang. Kalau doclang itu singkatan dari “bumbu ledog nganggo kacang” alias bumbu kacang yang pekat, maka ketupat kacang Ciseeng ini bisa dibilang “saudaranya” yang lebih sederhana. Kalau masih belum nemu feelnya, mungkin rasanya kayak gado-gado lontong tanpa sayur, atau makan sate ayam pakai lontong tapi gak ada satenya. Rasanya gurih, manis, legit, sedikit pedas. 

Seporsi cuma Rp10.000 aja. Murah banget, apalagi kalau lihat porsinya yang cukup mengenyangkan. Cocok buat sarapan atau sekadar isi perut sebelum lanjut belanja lagi di pasar.

Suasana Pasar yang Hidup

Di depan warung ada beberapa motor parkir.  Di sekeliling, suasananya ramai: ada ibu-ibu nawar harga cabai, pedagang ayam yang sibuk memotong, dan suara motor yang lalu-lalang di jalan sempit antara lapak. Sambil makan, saya duduk di bangku kayu panjang yang agak goyah tapi nyaman. Di meja ada dua ketel besar yang selalu hangat. 

Pasar Ciseeng ini memang unik. Katanya cuma buka empat kali seminggu: Selasa, Kamis, Sabtu, dan Minggu. Jadi kalau datang di hari lain, jangan kaget kalau suasananya sepi. Seperti pasar tutup permanen. 

Cerita dari Ibu Penjual

Saya sempat ngobrol sebentar dengan ibu penjualnya. Katanya, warung ini sudah ada sejak jaman ibunya dulu, sekitar tahun 60-an. Sekarang diteruskan oleh anak dan cucunya.


“Dari dulu ya begini aja, Neng,” katanya sambil tersenyum. “Nggak pernah diubah-ubah.”

Ada nada bangga di suaranya. Dan saya paham kenapa. Di tengah dunia yang serba cepat berubah, masih ada orang yang setia menjaga resep lama. Luar biasa, lho! 

Saya jadi terharu sedikit. Di zaman serba cepat kayak sekarang, masih ada orang yang setia mempertahankan resep dan cara lama tanpa banyak modifikasi. 

Mungkin buat sebagian orang, rasanya “B aja.” Tapi justru di situlah pesonanya. Ketupat kacang Ciseeng bukan makanan yang dibuat untuk mengejar tren. Ia ada untuk mengingatkan kita bahwa makanan enak nggak selalu harus heboh. Kadang yang sederhana justru paling jujur rasanya.

Bukan Tentang Viral, Tapi Tentang Rasa

Mungkin buat sebagian orang, ketupat kacang ini rasanya “B aja.” Tapi justru di situlah letak menariknya. Nggak semua makanan harus luar biasa untuk bisa diingat. Kadang yang sederhana justru lebih lama tinggal di kepala.

Ketupat kacang Ciseeng ini semacam pengingat bahwa kuliner Nusantara itu luar biasa luas dan beragam. Dari bentuk yang mirip-mirip, masing-masing daerah punya rasa dan ceritanya sendiri.

Dan buat saya, pagi di Pasar Ciseeng itu bukan cuma soal belanja bahan masakan untuk acara keluarga, tapi juga tentang menemukan sepiring nostalgia — ketupat kacang dengan rasa lama yang masih sama, disajikan dengan kehangatan dan kesederhanaan yang nggak dibuat-buat.

Kalau suatu hari kamu main ke arah Parung atau Ciseeng, coba deh mampir. Datang pagi-pagi, duduk di bangku kayu belakang pasar, dan pesan satu porsi ketupat kacang. Nikmati perlahan sambil menyeruput teh panas dari ketel aluminium yang masih mengepul. Kadang, hal-hal kecil seperti itu justru yang paling bikin bahagia. 

Tidak ada komentar