Hutangmu Hutangku, Nduk!


Penghematan ala Ibu

Ibu merupakan sosok wanita sederhana dan pekerja keras. Tangannya kasar, wajahnya pun tak pernah berlapis bedak dan gincu. Berasal dari desa di Wonogiri, Jawa Tengah. Ibu dan bapak mengadu nasib di Jakarta menjadi pedagang beras di pasar. Ibu tidak pernah mengeluh sedikit pun. Delapan orang anak yang harus dinafkahi membuat tenaga dan pikiran Ibu tercurah untuk mencari uang.

Masa kecilku dihabiskan di pasar menemani Ibu berdagang. Saat itu aku sering melihat ibu memunguti bulir-bulir beras yang tumpah dari baskom atau tercecer dari karung. Ibu akan menampi beras, membuang batu-batu kecilnya, lalu dibungkus untuk dibawa pulang. Kata ibu, kita harus berhemat.

Sebagai wanita Jawa yang suka makanan bersantan, ibu pun demikian. Ibu sering sekali memasak sayur Gori (nangka) atau sayur lodeh sepanci besar. Dengan cara itu, ibu berhemat tenaga dan waktu. telur-telur retak jualan ibu yang tak laku dijual akan dibawa pulang ke rumah. Selanjutnya ibu akan mencampurnya dengan tepung dan mendadarkannya untuk tambahan lauk anak-anaknya. Ibu memang tidak ada capeknya.

Waktu terus berjalan. Kakak-kakak telah sukses dalam karier dan rumah tangganya. Sepeninggal bapak, kakak-kakak meminta ibu berhenti dari kegiatannya berdagang di pasar. Kata kakak, buat apa lagi uang? Kami akan mengirimkan uang setiap bulan untuk ibu. Tidak ada lagi yang harus ibu urus, bukan? Sejak saat itulah ibu pension dari dunia perdagangan.

Terlilit hutang

Nasibku memang tidak semulus kakak-kakak. Rumah tangga kujalani dengan penuh keprihatinan. Suamiku hanyalah karyawan biasa dengan gaji pas-pasan. Aku sendiri bekerja, namun selalu besar pasak daripada tiang. Gajiku habis hanya untuk membayar gaji asisten rumah tangga. Demi berhemat aku berhenti kerja.

Sejak berhenti kerja, praktis kesibukanku hanya di rumah saja. Uang pesangon yang tidak seberapa kugunakan untuk berbisnis barang kreditan. Seprai dan baju-baju muslim menjadi komoditi kreditku awal mulanya. Tergiur keuntungan besar, aku memakai kartu kredit yang kumiliki untuk mengkreditkan ponsel dan alat rumah tangga.

Rupanya aku memang tidak berjiwa bisnis, tidak tegaan dan selalu baik sangka ternyata menjadi boomerang. Tagihan kreditku macet dimana-mana. Utang kartu kredit pun tidak terbayar. Aku terpukul sekali. Niat hati ingin usaha menambah penghasilan, malah utangku semakin menumpuk.

Gali lubang tutup lubang aku jalani sekian tahun. Pahit getir hidup dalam serba kekurangan membuatku semakin tabah. Muka tebal kupasang demi mendapat pinjaman dari kakak-kakak. Sindiran pedas kuterima dengan lapang dada. Aku sebenarnya malumerepotkan mereka. Aku tahu diri, siapa aku. Lambat laun, aku menghilang dari acara keluarga.

Malaikat itu adalah Ibu

Keterpurukanku rupanya diketahui Ibu. Suatu hari aku dimina datang ke rumah ibu. Beberapa hari menginap sengaja kupasang wajah penuh ceria. Aku tidak mau ibu tahu masalahku. Bagiku, bakti pada ibu adalah dengan tidak merepotkannya. Biarlah ibu tahu yang baik-baik saja. Aku tidak mau darah tinggi ibu kumat jika banyak pikiran. Rupanya, sekali lagi aku salah.

Menjelang kepulangan, ibu menarikku ke kamarnya. Dibukanya laci lemari, kemudian meletakkan di telapak tanganku satu buah kotak mungil. Gelang emas dan nota pembelian tertata rapi di dalamnya. Mataku nanar, berselimutkan air mata yang tiba-tiba menderas begitu saja. kutubruk lutut ibu. Aku menangis. Menumpahkan segala bebanku. Ibu berpesan, “simpanlah, Nduk. Suatu saat kamu akan memerlukannya.”

Belum cukup sampai disitu. Ibu mengulurkan amplop coklat ke tanganku. Isinya uang dua juta rupiah. Tatapanku makin tidak mengerti. Ibu berkata,”bayarkanlah utangmu pada Mas-mu (kakak Lelaki). Utangmu, utangku juga Nduk.”

Masya Allah, rupanya selama ini ibu tetap hidup dengan sederhana. Kiriman uang setiap bulan dari kakak-kakak digunakan ibu seperlunya saja. Penghematan ibu sedari muda telah mengakar hingga di usia senjanya. Ibu mengerti konflik yang terjadi dengan Mas-ku karena keterlambatan pembayaran utangku. Dengan caranya, diam-diam ibu mengatur pemecahan masalah tersebut.

Ya Allah, ibu tetaplah seorang ibu. Di bahu rentanya ini, ibu masih gagah menopang segala penatku. Di penghujung usianya ini, ibu masih menjadi tempat pelipur kegundahanku. Maafkan aku, Bu. Sampai saat ini aku belum bisa membahagiakanmu. Semoga engkau diberikan kesehatan selalu agar setidaknya sekali saja aku bisa membalas seluruh pengorbananmu.




Tidak ada komentar