Cara Mereka Mengelola Uang Saku

Tahun ajaran baru ini si bungsu Dega mulai full jam belajar di sekolahnya. Namanya juga SD Negeri, dulu saat kelas 1 dan kelas 2 SD, jam sekolahnya bergiliran seminggu-seminggu dari jam 7.00-9.00 dan 9.30-12.00. Sedangkan naik ke kelas 3 SD ini jam belajarnya siang dari jam 12.30.00-17.00, nanti semester genap akan di-rolling lagi ke pagi jam 7.00-12.00. Waduh, kasihan juga ya sekolah siang-siang, mana sudah full time pula jam belajar sekolahnya  L

Sejak jam Sembilan pagi tadi, saya terus mewanti-wanti Dega untuk menghabiskan bekal makan yang sudah disiapkan. Botol minumnya yang bermuatan air sebanyak 1 liter saya isi penuh-penuh. Saya takut Dega kelaparan, mengingat Dega itu adalah anak yang doyan makan dan amandelnya mudah bengkak kalau makan yang aneh-aneh. Syukur Alhamdulillah, sejak pernah kena Thypus dia sudah alergi makan jajanan sembarangan, takut diopname dan ditusuk-tusuk jarum lagi untuk dipasangi infus, katanya.

Pikir-pikir sebenarnya peristiwa ini bukan sekali saya alami. Hal yang sama saya rasakan juga saat mas Tsaka dan mbak Nala di hari-hari awal sekolah siangnya. Saya blingsatan menyiapkan kebutuhan logistic selama di sekolah, seperti bekal makan, botol minum dan uang jajan. Ibu siapa yang tega membayangkan anaknya di sekolah kelaparan, sedangkan di saat yang sama ibunya sedang leyeh-leyeh dengan segelas sirup dingin di rumah. Oh, it’s not me :D

Saat duduk di kelas tiga SD dulu sampai kelas enam SD sekarang ini, mas Tsaka sudah menerima uang saku sebesar lima ribu rupiah perharinya. Saat itu mas Tsaka yang karakternya sangat easy going (ga mau repot) sama sekali ngga mau membawa bekal makannya. Pernah diam-diam saya sembunyikan bekal makannya, supaya nanti di sekolah bisa dimakan. Ternyata bekal makannya bukan dimakan sendiri malah dishare ke teman-temannya. Sudah dimarahi ya percuma juga. Dengan segala pertimbangan, akhirnya dia dibekali uang untuk jajan makanan yang mengenyangkan di kantin sekolahnya.

Sama seperti Dega, sejak kena Thypus berbarengan dengan Dega, mas Tsaka pun ogah jajan makanan sembarangan. Dia memilih tetap jajan dari uang sakunya itu untuk membeli nasi uduk, nasi goreng atau gado-gado yang ukurannya cuma semunil, daripada jajan sosis-sosis yang dkucuri saus tomat ngga jelas, atau snack bungkusan yang vetsinnya sangat mendominasi. Tabungannya ada sih, tapi paling sedikit dibandingkan dua saudarnya. Tapi seperti biasa, dia cuek aja ;)

Lain lagi dengan mbak Nala, sampai kelas enam SD dia sama sekali ngga pernah punya uang saku selama sekolah. Saat itu mba Nala diantar jemput oleh saya sendiri, jadi bekal makan dan botol minumnya sudah saya cukupi, jika ada keperluan iuran ini itu saya langsung bayarkan saat menjemputnya pulang. Setelah memasuki usia remaja, di SMP, mba Nala yang sudah berani naik angkot sendiri pun harus memegang uang saku. Setelah meng-kros cek ke teman-temannya, maka saya menyamakan uang sakunya dengan teman-temannya  10 ribu rupiah perhari. Selanjutnya, perlahan-lahan saya bulatkan dari memberi ke mingguan ke bulanan. Dari uang sakunya ini dia berencana menabung untuk beli sepeda balap untuk sekolah. Katanya, kalau dia bisa punya sepeda, dia bisa mengirit pengeluaran angkotnya. Setelah dihitung-hitung, bujet naik angkot selama 6 bulan cukup untuk beli android baru. Oh ya,hape mba Nala Samsung Galaxy Young yang dia beli sendiri sejak naik kelas 6 SD, 3 tahun yang lalu memang sudah sering eror. Sudah pantas sih jika dia beli yang baru. Semangat nabung ya mbak J

Tapi gimana dengan Dega? Berapa ya uang saku ideal buatnya? Sejak kelas 1 SD Dega mendapat uang lima ribu rupiah hanya di hari Jumat saja. Itu hanya untuk jaga-jaga saja jika dimintai iuran kas kelas (yang entah untuk biaya apa?), foto kopi ulangan dan untuk infak yang kotaknya diedarkan ke kelas-kelas. Biasanya uang itu pun juga ngga dijajankan sesuatu oleh Dega, dia gunakan untuk keperluan membayar iuran ini itu seperti di atas. Selebihnya dia tabung. Pernah saya penasaran menanyakan rencananya seputar tabungannya nanti akan digunakan untuk apa. Dia menjawab dengan lugas, “aku mau beli mobil baru untuk Ibu, boleh kan?” 

Masya Allah, Dega :’)







Tidak ada komentar