Udah Tua Koq Ngajinya Masih Iqro?

Di hari pertama sekolah, saya dihampiri mamanya Tania (sebut saja begitu), teman Dega sekolah. Setelah ngobrol ngalor ngidul ngga penting, dia bertanya,”Nilai akumulasi rata-ratanya Dega berapa, Bu?

Saya jawab bahwa saya ngga memperhatikan sekali nilai raport kenaikan kelas kemarin berapa total nilai, rata-rata nilai dan nilai akumulasinya. Saat itu memang konsentrasi saya terfokus untuk kesehatan ibu (baca : cepat sembuh ya, bu ) , boro-boro kepikir untuk menelaah isi raport anak-anak deh.

Ketika saya tanya balik, berapa nilai akumulasi raport Tania, ibu itu ngga mau menjawab. Dia bilang, “sama, Bu. Saya juga ngga ngitung.” Masa sih? Koq terpikir untuk menanyakan nilai raport Dega, kalau bukan untuk membandingkan?

Entah mengapa dari nada suaranya saya menangkap kesan yang tidak mengenakkan. Seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Sepertinya dia ‘ngga terima’ rangking satu yang biasa dipegang Tania putrinya direbut Dega.

Kemudian ‘penyelidikan’ berlanjut. Dia menginterogasi menanyakan apakah Dega les? Les di mana? Ingin sekali saya bilang padanya bahwa keluarga kami harus hidup hemat agar pendapatan suami bisa cukup. Berapa yang harus saya keluarkan untuk biaya les tiga anak saya jika lesnya seperti di tempat putrinya yang mahal itu. Tapi saya tahan, yang saya lakukan adalah menekan ikon senyum. Saya bilang “Dega ngga les di mana-mana. Belum ada duit, Bu. Saya cuma pesan ke Dega, jika di kelas dengarkan bu Guru aja. Kalau ngga ngerti, buru-buru tanya. Jangan malu. Jangan ngobrol. Peran aktif aja di kelas. ”

Seperti kurang puas, dia menyecar seputar ngajinya Dega. Terlihat nada gembira ketika saya bilang Dega ngajinya belum ke juz brapa-brapa, baru Iqro 5. “Udah tua koq masih Iqro?” cetusnya.

Sempat saya termangu mendengarnya. Aibkah jika Dega yang baru naik ke kelas tiga SD ini baru Iqro 5? Kelihatannya priyayi dan intelek tapi koq dia menjatuhkan Dega seperti itu, sih? Astagfirullah. Saya lihat ke arah Dega yang dari tadi berdiri di sisi saya, namun tidak terlihat ekspresi apa-apa dari wajahnya. Seperti mendapat kekuatan, ikon senyum lebar saya tekan kembali. Saya bilang, “Ngga papa Bu, belajar itu kan ga kenal umur, ya De?” Saya genggam tangan Dega. Cepat saya melanjutkan, “tua atau masih muda, ga usah minder. Yang penting, mau belajar, oke?!”

Saya eratkan genggaman tangan saya. Dega tersenyum kemudian tertawa lebar. Katanya,”kalo ngga ada kemauan ya ngga pinter ya, Bu.” 

Saya merenung lama. Siapa yang ngga pingin anaknya pintar sih? Siapa yang ngga pingin anaknya berprestasi sih? Tapi kita ngga bisa paksakan jika anaknya belum mau dan belum mampu, kan? Target tiap orang tentu berbeda-beda, dan belum tentu cocok dengan target kesuksesan kita, kan? Yang paling tahu apa kemampuan, kebutuhan, keinginan dan tujuan adalah kita sendiri. Dan Dega telah membuktikan, apa kemampuannya, apa kebutuhan dan keinginannya, maka dia berusaha meraih kesuksesannya dengan rambu-rambu berupa ‘pesan sponsor’ dari saya dan ayahnya.

Saya dan suami berprinsip untuk tidak menilai prestasi akademik ditentukan dari rangking kelas. Kami lebih mengutamakan pemahaman materi pelajaran daripada hasil akhir berupa nilai sempurna untuk ulangan-ulangan. Saya akui, nilai akademik si sulung mba Nala dan si bungsu Dega sangat membanggakan tapi tidak begitu dengan mas Tsaka, si tengah. Nilai akademik mas Tsaka saya kategorikan di average to weak. Dari 40 siswa, mas Tsaka ada di rangking 37. Namun, sekali lagi kami ngga melihat dari nilai akademik. Mas Tsaka di usianya yang ke 8 sudah  terlihat kemauannya di dunia otomotif. Dengan cekatan dia membantu ayahnya jika mobil kami sedang ngadat. Mas Tsaka tau sekali apa yang harus dia lakukan, mengecek kira-kira apa yang rusak. Bagi kami itu merupakan prestasi tersendiri mas Tsaka dibandingkan anak-anak seusianya.

Kembali ke sifat membanding-bandingkan seperti ibu itu tadi memang sering sekali saya temukan di berbagai tempat. Sudah ngga heran, jika di tempat umum ada yang suka membanggakan dirinya sendiri atau orang terdekatnya. Sejurus kemudian mencari kelemahan orang lain lalu membandingkan dengan kondisinya. Yang dibanggakan juga ngga jauh dari seputaran kerajinan, kesolehan, kekayaan, kecakapan fisik, prestasi akademik, kondisi rumah tangga, dan karier.

Sebagai ‘korban’ dalam praktik perbandingan, terus terang saya sempat kesal. Tapi saya ngga bisa berbuat apa-apa. Serba salah jadinya. “Positif thinking aja, Bu. Anggap aja dia punya cara ‘unik’ untuk menjadi penyemangat belajarnya Dega,” ujar suami saya dengan santai.

Hehehehe… iya juga ya. Buat apa juga saya terlalu memikirkan orang lain, lebih baik focus kembali kepada diri sendiri dan keluarga aja. Salam J









Tidak ada komentar