Bila Suami Tidak Menafkahi

Seorang teman pernah berkomentar pada postingan blog saya (baca : Suami saya romantis juga). Dengan nada getir, dia mengatakan jika suaminya sama sekali ngga masuk kriteria yang saya sebutkan itu.
Saat ini dia bekerja di perusahaan kontraktor, berusia 40 tahunan, mempunyai satu orang putri yang masih duduk di kelas empat SD, dan bersuamikan seorang pengangguran. Saya tau sekali apa yang dia rasakan sekarang ini. Di usia yang boleh dibilang sudah ngga produktif seperti ini, dia sudah ngga merasakan lagi kegairahan dalam pekerjaannya.
Seringkali saya baca postingan status time line FB-nya berbau-bau kepesimisan. Suatu hari dia posting status jika kepalanya sering cenat cenut akhir-akhir ini, kali lain postingannya mengatakan ketiadaan selera makannya. Kegagalannya memberikan yang 'terbaik' buat putrinya tergambar saat dia memposting cara mengisi liburan bersama putri dan suaminya hanya dengan menghabiskan waktu dengan numpang baca aja di sudut gramedia.
Jelas sekali dia iri pada kehidupan saya. Dalam mindset-nya,  perkawinan ideal berisi suami sebagai kepala keluarga yang menafkahi, istri yang pintar mengelola urusan domestik dan kalau bekerja, bisa bebas memakai uangnya untuk kebutuhan pribadinya. Ditambah, anak yang mempunyai lingkungan tumbuh kembang ideal dan sekolah di tempat yang bagus.
Sudah berkali-kali saya bilang, apa yang ada di pikirannya itu salah. "Rumput tetangga tuh memang lebih hijau," kata saya. Kalau mau dibalik, saya juga iri padanya yang masih sanggup menyekolahkan putrinya di sekolah elit, sementara tiga anak saya hanya di Sekolah Negeri yang pas-pasan fasilitasnya. Suami yang berstatus sebagai karyawan pabrik, yang gajinya hanya setengah kali gajinya harus pandai disulap agar cukup sampai gajian berikut.
Hidup memang ga selalu mendapat apa yang kita inginkan, kan? Saya sendiri terus terang geregetan dengan suaminya itu. Jahat sih memang saya yang menstempel suaminya itu tipe pemalas. Mental tempe banget, ngga punya motivasi diri sama sekali.
Tapi segala hal tetap ga boleh kita nilai dari satu sisi aja kan. Merunut ke masa kecilnya, bisa aja suaminya memang anak emas orang tuanya which is mertua teman saya itu. Secara emosional dan mental, bisa aja suaminya belum mencapai tingkat kedewasaan sesuai usianya. Nah, jika benar, sudah sejauh mana teman saya itu mau ikut berperan agar suaminya mau mengubah perilaku malasnya itu?
Saran saya buat teman saya hanya simple. Saya minta dia membantu suaminya untuk mencari jati dirinya, bantu dia keluar dari zona nyamannya. Mungkin di usia 40an dimana orang orang sudah seattle dengan kepribadian dan karirnya, suaminya masih belum menemukan. Bercerai bukanlah jalan keluar, mindsetnya aja yang harus diubah. Suaminya mengelola rumah tangga sementara teman saya yang bekerja menafkahi rumah tangga. Tentunya dengan segala konsekwensinya.
Kembali ke komitmen semula ya dear terhadap perkawinan. Sungguh, perceraian bukan jalan keluar terbaik, lho. 

Tidak ada komentar