Iming-iming Duit Pada Anak, Perlu Atau Tidak?

Setiap hari anak-anak menerima uang saku sekedarnya. Dari uang saku itu mereka belajar mengelola uang untuk kebutuhan sehari-harinya. Mas Tsaka uang sakunya perhari 5 ribu dimana 2 ribunya dialokasikan untuk ongkos naik angkot sepulang sekolah. Sementara Dega uang sakunya 3 ribu, tanpa dikasih ongkos lagi karena naik jemputan.

Dari uang itu mereka harus membagi mana yang menjadi prioritas seperti nabung, bayar kas kelas, iuran sesuatu, infaq dan jajan. Biasanya sih, mereka ngga suka jajan, jadi uang mereka sering bersisa bahkan utuh sampai di rumah. Nah, karena uang itu adalah hak milik mereka, saya anjurkan mereka untuk menyimpannya sendiri.

Dari uang saku itu tanpa disadari mereka jadi rajin menabung dan mulai penasaran gimana caranya mendapat uang lebih. Tentunya, sebelumnya mereka sudah mempunyai target apabila uangnya sudah cukup, nantinya akan membeli apa.

Berbagai cara dilakoni mas Tsaka dan Dega untuk cari uang yang halal.  Dari mengumpulkan barang plastik bekas pakai di rumah lalu dijual ke tukang rongsokan, sampai jualan layang-layang pun dilakoni. Hasil ulangan di sekolah dengan nilai 100 (betul semua) bisa mereka tebus dengan uang Rp 10.000,- dari saya. Cara ini menurut saya efektif untuk merangsang anak-anak belajar dengan rajin sekaligus berprestasi.

Saya tanamkan kepada anak-anak bahwa semua ngga ada yang gratis. Mau pintar ya harus belajar. Mau duit ya harus kerja. Duit dipakai buat memenuhi kebutuhan, contohnya mau beli sepeda, ya nabung. Dari mana duitnya? Ya dari kerja. Nah, pekerjaan yang cocok buat anak-anak ya belajar. Jadi jika dengan belajar bisa dapet duit, kenapa ngga? Yang dapat pintar siapa? Yang dapat duitnya siapa? Yang disayang Guru Teman dan Keluarga siapa?

Yess, racun masuk dengan sempurna tampaknya nih. *devilslaugh

Sampai sini, saya gambarkan kepada anak-anak mengenai beasiswa. Beasiswa yang sejatinya diperuntukkan untuk kalangan tidak mampu tapi berprestasi akan dibiayai sebagian atau penuh biaya pendidikannya. Pemegang beasiswa itu seperti emas yang akan dilirik berbagai perusahaan untuk bekerja dikarenakan prestasinya itu. Sempat Dega bertanya, "aku bisa ngga bu dapat beasiswa?

Saya katakan, Insha Allah akan ada jalan. Yang penting sekarang duit dulu.

Melihat tatapannya yang bingung, saya jelaskan DUIT yang saya maksud adalah Doa Usaha Ikhtiar Tawakal. Mereka menganggup mantap, "oke bos, siap."

Lucunya, Mas Tsaka mencoba nawar. Katanya, "kalau nilai 100 dapet 10 ribu, jadi kalau nilai aku 7 boleh dapet 7 ribu dong, Bu?"

Yeeee... ngga bisa gitu keleeeuuss... hahahaa...

Sehubungan dengan iming-iming duit pada anak, saya juga pernah berdebat dengan seorang teman. Menurutnya, dengan 'iming-iming duit' anak akan dilatih jadi pemalas. Mereka baru mau kerja jika dikasih upah. Andai ngga dikasih upah, mereka ngga akan mau bekerja.  

Benarkah begitu? Apa jangan-jangan pendekatannya yang salah? Apa jangan-jangan orang tuanya main perintah tanpa ngasih penjelasan panjang lebar? Adakah diskusi dua arah dengan anak-anaknya?

Menurut saya, justru dengan mengetahui manfaat uang digunakan untuk apa, anak-anak belajar mengendalikan diri dalam memanfaatkan uangnya;memilih antara keinginan atau kebutuhan mana yang lebih penting. Mereka juga belajar kebaikan dan kejelekan saat berhubungan dengan uang. Mereka jadi tau seperti apa susahnya cari uang (saya ajak berhitung modal dan laba saat jualan layang-layang). Tentunya masih banyak lagi sehubungan dengan uang. Jadi kenapa takut mengiming-imingkan uang pada anak?



                             

5 komentar

  1. Saatnya mengajak anak untuk menabung sejak usia dini hehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, makna uang bagi anak itu luas sekali ya ternyata hehhee

      Hapus
    2. Iya mas, makna uang bagi anak itu luas sekali ya ternyata hehhee

      Hapus
  2. kalau buat memotivasi mungkin perlu ya, tapi tetap harus sedikit dibatasi :)

    BalasHapus