Jadi Anak Rumahan, So What??


Suatu hari pernah ada tetangga yang nyinyir. Katanya, “anak koq dikurung aja di rumah aja, Bu.”

Spechless saya. Konotasi kata ‘dikurung’ kesannya sayalah yang melarang anak-anak main dengan anak tetangga. Padahal anak-anak saya memang tidak suka main ‘ga jelas’ di luar rumah. Ketiga anak saya memang maunya main bertiga aja di rumah. Lalu salahnya dimana, ya?? Hehehe...


Bisa jadi anak-anak meniru gaya saya dan suami yang sama-sama orang rumahan. Sejak kecil saya memang tidak terbiasa main di luar rumah. Rumah merangkap toko yang keluarga saya tempati merupakan kawasan usaha yang berada di pinggir jalan besar yang ramai. Rata-rata para pemilik usaha di kawasan ini-kebetulan-tidak punya anak seusia saya sehingga saya tidak punya teman main. Untung aja Ibu punya cara supaya saya dan kakak-kakak tidak bosan. Sebagai hiburan, ibu memilih membeli majalah anak-anak bekas untuk bacaan dan sebuah mini compo untuk mengisi waktu kosong sehari-hari.

Mengasah aspek perkembangan anak
Meskipun terlihat hanya di rumah aja, saya dan suami tetap menomorsatukan hak bermain anak-anak lho. Banyak kegiatan yang bisa dilakukan di rumah apalagi kebetulan anak-anak saya rentang usianya berdekatan, selang dua tahunan aja.

Nah, cara-cara yang saya lakukan untuk mengasah ketiga aspek perkembangan anak adalah :
1.       Aspek psikososial.
Hal ini sudah saya terapkan sejak bayi. Caranya dengan mengenalkan lingkungan luar rumah dan rajin membawanya ke tengah keramaian orang. Katanya, anak yang terbiasa melihat banyak orang dan terbiasa ada di lingkungan baru bisa melatih anak-anak supaya tidak takut pada orang asing.

2.      Aspek psikomotor.
Hal ini sudah saya terapkan sejak batita. Caranya dengan mengajak main balapan lari, main petak umpet, main sepeda dan sekarang yang lagi trend yaitu main sepatu roda bergantian (karena beli sepatu rodanya cuma sepasang, jadi mainnya harus gantian hihi). Terkadang suami dan saya ikut terlibat juga misalnya dengan menemani anak-anak lari pagi bareng setiap hari minggu pagi keliling kompleks.

3.       Aspek kognitif/ intelegensi
Hal ini sudah saya terapkan sejak anak-anak mulai mengenal dunia baca tulis. Dulu setiap mau tidur malam, untuk mengenalkan satu huruf misalkan huruf P dalam kata Pooh dalam buku cerita Winny the Pooh, si kecil hanya diminta mencari huruf P dalam setiap lembar buku yang dibaca. Hal ini melatih konsentrasi dan pengenalan membaca.

Main di Luar rumah VS Main di dalam rumah 
Saya sih bisa mengerti, kebanyakan orang tua memang melarang anaknya untuk bermain di luar ada penyebabnya, misalnya sebagai berikut ini:
1.       Ingin anak jadi lebih konsentrasi belajar hingga bisa berprestasi,
2.       Khawatir anak terpengaruh perilaku buruk temannya,
3.       Khawatir anak diculik atau kecelakaan,
4.       Khawatir ga jelas seperti takut kotor, takut cape dan takut sakit.

Kekhawatiran itu sebenarnya bisa diminimalisasi koq. Caranya, belajar percaya aja deh sama anak. Sewaktu kita masih kecil kita juga pasti ga suka setiap dibaweli terus menerus oleh orang tua kan? Lagipula, katanya, anak-anak yang selalu dilarang dan apa-apa dikomentari setiap gerak geriknya akan membuat anak jadi kurang percaya diri, ragu-ragu dan minder pada teman sebayanya.

Selain memberi kepercayaan sebagai orang tua kita juga harus memberi tanggung jawab pada pergaulan social anak-anak. Terlebih seperti saya yang sekarang sudah mempunyai dua remaja dan satu anak usia SD, kemampuan mereka bersosialisasi khususnya pada lawan jenis mulai berkembang. Alhamdulillah, dengan memposisikan sebagai teman, abege di rumah bahkan teman-temannya yang sering main ke rumah tidak sungkan untuk cerita dan berbagi kekonyolan bersama saya.


Nah dengan memberi kepercayaan dan tanggung jawab pada anak-anak mereka akan mengembangkan nilai-nilai bersosialisasi dengan teman-temannya. Ibaratnya seperti main layangan yang harus tau kapan ditarik dan kapan diulur, maka control atau pengawasan juga tetap saya dan suami lakukan. Yang penting konsisten dan kedua orang tua mau sama-sama berbagi tanggung jawab dalam mengawasi anak-anaknya. Setuju kan?

Tidak ada komentar