Manfaat Dana Desa Diwujudkan Masyarakat Panggungharjo Di Kampoeng Mataraman



Perjalanan saya kali ini ke Yogyakarta terasa sangat berkesan. Selain karena ini adalah agenda seseruan bersama teman-teman Blogger, kali ini juga merupakan pertemuan saya dengan bapak Eko Putro Sandjojo. Beliau hits sebagai Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Menteri Desa PDTT) pada perombakan kabinet akhir Juli 2016 lalu. Namun sebenarnya beliau juga sangat mumpuni dalam mewujudkan instruksi Presiden Jokowi yang ingin program manfaat dana desa digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.

Nah, salah satu bukti nyata bagaimana sebuah desa bisa memiliki kreativitas tanpa batas dalam mengelola potensinya saya temukan saat saya dan teman-teman mengunjungi kawasan di bilangan Bantul. Sebuah desa wisata edukasi dan kuliner desa yang menjadi tempat kekinian yang hits sekarang ini di Yogyakarta. Namanya Kampoeng Mataraman.



Lalu, kenapa namanya  Kampoeng Mataraman? Apakah ada hubungannya dengan nama wilayah di bilangan Jakarta Timur? Apakah Kampoeng Mataraman adalah kampungnya orang Mataram? Apa hubungannya kampoeng ini dengan manfaat dana desa? Penasaran, kan? Hihihihih...


salah satu fasilitas di kampoeng mataraman adalah musholla, toilet dan lahan parkir yang sangat luas

Jadiii, Kampoeng Mataraman adalah sebuah kawasan wisata yang menghadirkan kembali peradaban manusia di abad 19 yaitu pada era kerajaan Mataram secara menyeluruh mulai dari aspek sandang, pangan maupun papan. Di sini, kita diajak untuk menoleh bahwa nenek moyang kita mempunyai budaya yang perlu dilestarikan. Tentunya, agar anak cucu kita tidak hanya cuma mendengar cerita atau melihat lukisan atau membaca kisah dari buku-buku saja mengenai kebudayaannya.

begitu noraknya saya saat ketemu dengan yuyu kangkang. Long time no see ya bro?


Lalu, apa saja kebudayaan tempo dulu yang bisa kita rasakan di sini? Nutu padi salah satunya. Dulu, ketika orang belum menggunakan mesin diesel untuk menggiling padi, nutu padi merupakan sebuah cara menumbuk padi lalu ditampi untuk membuang kulit padinya supaya jadi beras. Kegiatan ini biasanya dilakukan secara gotong royong oleh seluruh masyarakat desa.



 
cuma mata Tommy yang melihat lesung untuk menumbuk padi di sini. Thanks for the pict ya Tom :)

Kebudayaan tempo dulu mengenai cara memasak dengan menggunakan kayu bakar sebelum adanya si melon gas juga bisa kita jumpai di sini. Dengan adanya pawon atau dapur yang besarnya seluas rumah saya (bayangkan?! J) suasana memasak menjadi sebuah interaksi hangat bagi keluarga di masa lalu.

jadi inget pawon di rumah Mbah 

Saat blusukan di area dapur ini saya langsung membayangkan saat kecil dulu. Saat saya duduk di pendiangan di pagi buta untuk menunggu nasi matang sambil menghangatkan badan karena kedinginan luar biasa. Wangi asap kayu bakarnya itu lho yang ga bakal saya lupakan. Apalagi saat saya diajari Paklik saya untuk melempar ubi jalar ke tungku pembakaran kalau sudah tidak tahan lapar. Wooh, sungguh kenangan yang indah untuk dilupakan deh.

fungsi bakul di kota sudah digantikan dengan baskom plastik :(


adakah yang mau nemenin saya membajak sawah?

Oiya, perlu digaris bawahi ya, di Kampoeng Mataraman ini tentu saja kita tidak perlu memasak. Karena semua menu kuliner sudah disajikan di deretan ‘rumah-rumah penduduk’ yang bisa kita beli untuk disantap di rumah joglo di depannya. Mau gaya lesehan di atas tikar monggo, mau duduk di bangku panjang boleh, atau mau makan ala duduk di meja warteg pun hayuu. Yang penting kumpul bersama. Aaah, budaya makan bersama rasanya sekarang hampir tenggelam ya di jaman now ini, hiekz...


suasana rumah joglo, monggo pinarak :)

Sebagaimana taglinenya ‘kembali ke tempo dulu’, masakan di sini juga sehat, tidak mengandung micin, karena menganut prinsip budaya Jawa yaitu olah roso atau olah rasa. Jadi, makanan yang disajikan di Kampoeng Mataraman bukanlah enak karena ditambahi dengan penyedap seperti makanan modern umumnya yang diolah dengan blender untuk menghaluskan bumbu. Akan tetapi, enaknya pol karena disajikan dari hasil bumi tanaman sendiri yang proses memasaknya dengan cara tradisional menggunakan perkakas tempo dulu. 

Dan kenikmatan yang tiada duanya adalah saat mendapatkan kehangatan makan bersama-sama itu tadi dengan citara masakan tradisional seperti Mangut Lele, Lodeh, Asem-asem, Mbang Turi, Genjer dan masih banyak lainnya. Hayo diingat-ingat, kapan terakhir kali kita makan bersama keluarga tanpa memegang gadget? *Sad*



untuk menghidupkan nuansa kampung tempo dulu, pakaian desa menjadi baju dinas ibu yang sedang menumbuk jahe untuk dijadikan wedang jahe.


suasana makan malam di kampoeng mataraman dengan suara kodok bersahut-sahutan alami banget. bukan suara kodok hasil donload lho :)

telur asin yang dijual di kampoeng mataraman juga merupakan hasil produksi masyarakat panggungharjo

Di kawasan Kampoeng Mataraman, suasana pedesaan yang serba hijau sangat mendominasi. Ditambah lagi dengan adanya bambu-bambu menjulang yang ditata saling silang di pintu gerbang hingga jembatan penghubung menjadi point of interest yang menarik untuk foto-foto. Tidak mau kalah, saya dan teman-teman ikut berfoto ria di area sini. Apalagi ada sepeda ontel yang disandarkan di pinggir jembatan, aaakk jadi pengen sesi foto preweding lagi deh ((lagi???)) hahahaha...



Daya tarik Kampoeng Mataraman memang tidak terlepas dari tangan dingin BumDes Panggung Lestari, Desa Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta dalam mengolah manfaat dana desa. Sebagai informasi saja, desa ini juga merupakan sebuah contoh desa teladan karena telah berhasil melakukan inovasi demi pembangunan berkelanjutan di desanya. Tidak nyangka kan, bila minyak jelantah yang digunakan masyarakat desa ini dan sekitarnya bisa dijual untuk dijadikan BBM mesin-mesin besar di pabrik.

udah kenal belum dengan perangkat desa panggungharjo yang ini? :)
Yup, sebagaimana kita tahu minyak jelantah tidak boleh digunakan untuk konsumsi rumah tangga karena sangat membahayakan kesehatan. Biasanya minyak jelantah dibuang langsung dan limbahnya itu dapat mencemari lingkungan. Namun siapa yang sangka, rupanya minyak jelantah juga memiliki nilai untuk diolah kembali menjadi solar untuk menjalankan mesin-mesin di pabrik besar contohnya saja pabrik air minum yang ngetop dengan lagunya, “air mengalir sampai jauuuuhh”.




Nah, pertumbuhan ekonomi lainnya terjadi berkat sebuah desa yang bertahan memproduksi mainan anak tradisional tempo dulu. Namanya dusun Pandes yang dikenal dengan komunitas kampung dolanan. Sekarang ini dusun Pandes telah menjadi ikon sentra industri mainan tradisional anak-anak tempo dulu seperti kitiran, othok-othok, angkrek, keseran, wayang kertas dan lain-lain.

kitiran, mainan anak-anak yang dibagikan panitia dalam event Rembug Desa Nasional 2017 merupakan hasil produksi desa pandes yang ngetop sebagai sentra industri mainan anak anak. Fungsi kitiran ini kenapa dibagikan kepada seluruh peserta adalah sebagai pengganti tepuk tangan. Yeayyyy :)


Selain itu, sampah yang sering dinilai menjadi salah satu permasalahan akibat wilayah desa yang luas, jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhannya yang cukup pesat berhasil menjadi berkah. Dalam pengelolaannya yang dirintis oleh Bumdes, dengan bermodalkan 37 juta rupiah desa ini membukukan keuntungan lebih dari 300 juta rupiah dari pengelolaan sampahnya saja.

kerajinan tangan merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat untuk menaikkan kesejahterannya. Dalam event Rembug Desa Nasional 2017 yang berbarengan dengan peluncuran Bumdes Mall dan grand opening Kampoeng Matraman ini deretan UMKM masyarakat menjual kreativitasnya. 

Artinya, urusan sampah ini selain menghasilkan pendapatan untuk desanya juga mampu membuka banyak lapangan kerja bagi warga. Artinya, roda ekonomi dapat bergerak pesat, angka kemiskinan menurun, tingkat kesehatan semakin sejahtera dan anak putus sekolah karena tidak ada biaya juga semakin menurun. Wah, yahud banget yak :D



Kesuksesan desa Panggungharjo sebagai desa teladan dalam mengelola manfaat dana desa untuk mensejahterakan masyarakat desanya pantas menjadi acuan desa-desa lainnya di seluruh Indonesia. Berbarengan dengan grand opening desa wisata edukasi dan budaya Kampoeng Mataraman, pesta rakyat Rembug Desa Nasional 2017 sebagai refleksi 3 tahun desa membangun berlangsung dengan sangat meriah. Tidak tanggung-tanggung, desa teladan se-Indonesia ini mengundang empat ribu desa di seluruh Indonesia untuk mendiskusikan pengembangan potensi desanya.

Bapak Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi


Perhelatan akbar yang digelar pada 26-27 November 2017 lalu ini juga dihadiri oleh Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Menteri Desa PDTT) bapak Eko Putro Sandjojo yang sekaligus meluncurkan BumDes Mall sebagai inovasi terbaru dari Kemendes untuk sarana peningkatan Bumdes di indonesia.



disambut keriuhan kitiran sebagai pengganti tepuk tangan, bapak Mendes Eko Putro Sandjojo dengan Kades Panggungharjo  bapak   Wahyudi selaku ketua panita Rembug Desa Nasional 2017 usai meresmikan  bumdes Mall 

Meskipun baru menjabat sebagai Mendes selama satu setengah tahun, menggantikan rekannya pasca perombakan kabinet akhir Juli 2016 lalu, akan tetapi beliau dikatakan telah menorehkan prestasi sebagai Menteri Desa meskipun beliau sendiri sempat meragukan kemampuannya.

Dengan latar belakangnya sebagai pelaku bisnis di Indoneisa, Bapak Eko dengan peka memetakan berbagai masalah yang umum terjadi di desa-desa. Beliau dengan tegas mengatakan bahwa dana desa harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Beliau juga mendorong agar setiap desa memiliki satu produk unggulan melalui program ‘one village, one product’ yang dananya diambil dari dana desa.



Dalam temu singkatnya bersama saya dan teman-teman, pak Eko memberi contoh, ada sekitar 600 desa yang sudah membangun Embung air (kantong air untuk mencegah kekeringan yang mengakibatkan gagal panen) hasil dari manfaat dana desa. Diharapkan olehnya, desa-desa lain bisa meniru langkah tersebut untuk meningkatkan perekonomian desa.



Selain embung, ada tiga prioritas Kemendes lagi yang akan dikembangkan yaitu Prukades, BumDes dan sarana olahraga. Dan yang tidak kalah penting, menurutnya, adalah peran serta masyarakat dalam mengelola dana desa.

Produk Unggulan Kawasan Pedesaan (Prukades) merupakan salah satu upaya untuk mempercepat pembangunan desa

Sebelum menutup perbincangan, saya tercenung sesaat ketika pak
Eko Putro Sandjojo mengatakan yang kurang lebihnya seperti ini, “dana desa itu ditujukan untuk masyarakat. Maka masyarakat harus terlibat dalam pengelolaannya. Masyarakat harus bisa bekerja supaya tidak menjadi miskin.” Yup, that’s the point!!!!


 rebug desa

Tidak ada komentar