Cinta Terencana Elakkan Keluarga Dari Bencana



Cinta terencana elakkan keluarga dari bencana. Ketika remaja, saya pernah memimpikan hal-hal romantis saat menikah nanti. Di pagi hari, saya bayangkan ciuman selamat pagi dari belahan hati yang membangunkan dari tidur lelap saya. Saya bayangkan ia mengulurkan kopi hangat yang aromanya sanggup membuat saya terjaga sambil mengatakan, "bangun dong sayang, hari sudah siang cucian sudah nunggu tuh." :D

Tapi kenyataan tidak seindah mimpi. Suami saya tidak ada romantis-romantisnya sama sekali. Tumbuh dalam keluarga broken home suami saya membuat hatinya seolah beku, datar, tanpa emosi dan cenderung dingin. 

Namun sekian puluh tahun membina rumah tangga, pahit getir dalam pernikahan sudah dilewati bersama-sama. Ujian demi ujian datang membuat cinta semakin teruji kualitasnya. Apakah mampu bertahan atau menyerah sampai di sini saja.  

Biarpun terseok-seok membina rumah tangga tapi saya masih cukup beruntung dibandingkan teman saya perempuan, sebut aja Kiki. Di usianya yang jelang 40 tahun ia masih asyik dengan dunianya yang muter itu aja, rumah - kerja - hang out - rumah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana kesepiannya hatinya tanpa tawa anak-anak yang menghangatkan rumah. Saat saya usul untuk menikah, ia menggeleng. "Ngga ah, ntar laki gue bogemin gue kaya emak gue dulu. Sorry ye!" 

Atau bila dibandingkan dengan cerita teman lelaki saya, M, yang mendapat kabar dari mantan istrinya, Rani anak sulung perempuan mereka minta kawin. Saya kaget mendengarnya, bukankah umurnya hanya selisih setahun dengan mas Tsaka anak saya yang masih kelas dua SMP. Saya hanya sesalkan jika ia dikawinkan apapun alasannya. Benar saja, tiga bulan berikutnya saya mendengar Rani sudah diceraikan suaminya. Antara senang sekaligus sedih perasaan saya campur aduk. Untungnya dia belum hamil, ucap syukur saya. Miris.





Saya bisa memahami mengapa Rani nekat minta kawin muda. Kurang kasih sayang dari kedua orang tuanya yang sudah cerai ditambah dengan kehadiran adik tiri dan masalah komunikasi menyebabkan ia berpikir pendek. Dia kira menikah akan menyenangkan, padahal tidak begitu. Ada rentetan realita kehidupan yang menuntut kesiapan secara emosional, finansial dan kesehatan. 

Bila melihat latar belakangnya, gadis berkulit langsat ini tidak memiliki figur ayah, karena sosok ayah tirinya tidak memiliki ikatan batin dengannya sementara ayah kandungnya tinggal di luar kota dan kerjanya serabutan saja. Sosok ibu yang seharusnya paling dekat dengan dia hanya mengajaknya bicara untuk menyuruhnya melakukan ini itu karena sibuk mengurus kerjaan rumah tangga yang tidak ada habisnya. Bisa kita bayangkan bagaimana hambarnya hidup dia, karena ia sekalipun tidak pernah terlibat komunikasi menghangatkan misalnya seperti begini, "gimana hari kamu sekarang, sayang? Sedih atau bahagia? Ibu peluk, ya!"





Ya, jika dikembalikan memang sih manusia tidak ada yang sempurna. Sosok suami saya, Kiki, maupun Rani adalah contoh anak-anak yang menjadi korban atas chaos yang terjadi dalam pernikahan orang tuanya. Mereka terjebak dalam pilihan yang tidak mengenakkan. Namun memilih tidak menikah bukanlah solusi, sementara menikah apalagi di usia dini pun rupanya tidak seindah cerita dongeng Cinderella. Karena bukan pernikahannya yang jadi masalah tapi justru pribadinya itu sendiri yang punya masalah. 

Mari kita menelisik di sekitar kita, banyak bukan anak-anak yang hidup dalam keluarga timpang? Ada anak yang diasuh oleh salah satu orang tuanya akibat bercerai atau mencari nafkah di kota lain. Ada juga yang diasuh oleh kerabatnya. Kurangnya touch feel dari orang tua sehingga anak-anak tidak merasakan kehangatan dan ikatan keluarga, menyebabkannya mudah melarikan diri ke dunia yang membuatnya nyaman jika imannya kurang. Contohnya seperti free sex, narkoba, merokok, LGBT atau kawin muda *sigh

Konsep Keluarga

Dalam rangka Hari Keluarga Nasional yang jatuh pada 29 Juni, ibu Eka Sulistya Adiningsih selaku Direktur Bina Ketahanan Remaja BKKBN RI mengatakan, "keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat sebagai landasan negara yang kuat. Untuk itu peran keluarga harus kuat."

Ibu Eka Sulistya Adiningsih

Paparnya, berkeluarga adalah fase terbesar dalam hidup setiap orang. Dimana dua individu yang berbeda akan berbagi peran dan tugas yang melekat yakni sebagai suami dan istri dan sebagai orang tua dari anak-anaknya. Namun pada faktanya, banyak peran yang tertukar di keluarga. Suami yang bertugas sebagai pencari nafkah digantikan istrinya. Atau ibu justru memindahkan tugasnya untuk mengayomi anaknya dengan memaksanya bekerja mencari uang. 

Faktor penyebabnya adalah kemiskinan dan kurangnya wawasan sehingga mendidik anak kerap diabaikan. Nah, mendidik yang saya maksudkan bukanlah yang membiarkan anak meniru hal-hal di sekelilingnya tanpa bimbingan, mau baik ataupun buruk. Bukan pula yang sekedar menemani anak dalam mengerjakan pelajaran sekolah untuk mendapatkan ranking saja. Akan tetapi budi pekerti, kesantunan dan rasa sayang antar anggota keluarga haruslah ditanamkan. Bahkan jika salah satu anggota keluarga ada yang sakit semuanya pun akan merasakan sakit. Itulah empati yang seharusnya ada dalam keluarga. 


Kematangan berpikir setiap individu mengenai konsep pernikahan dan berkeluarga tentu saja adalah hal yang mustahil dilakukan anak remaja. Karena masa remaja adalah masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa. Postur tubuhnya boleh jadi layaknya orang dewasa. Tapi naluri, daya tangkap dan emosinya tetaplah masih anak-anak.

Untuk itu, jika terjadi pernikahan dini seperti Rani sangatlah disayangkan. Karena akibat pernikahan dini adalah kesengsaraan yang dimulai dari putus sekolah yang menyulitkannya mendapat pekerjaan yang layak. Kemudian akibat menikah muda maka faktor peluang resiko terhadap kesehatan dan kehamilannya semakin tinggi karena di usia remaja organ reproduksinya masih dalam pertumbuhan. Ke depannya, akibat kesulitan ekonomi yang bertumbukan dengan biaya pasca melahirkan menyebabkan ibu yang masih remaja mudah depresi lalu akhirnya bercerai karena tidak mengira bakal menghadapi realita tersebut. 

Mengapa harus remaja? 
Sebagai penerus generasi bangsa ke depannya, merencanakan keluarga nyatanya tidak hanya merencanakan kapan pergi ke KUA dan merencanakan jumlah anak idealnya berapa. Tapi juga merencanakan semua hal tentang persiapan membangun keluarga yang berkualitas.

Adapun untuk membentuk keluarga berkualitas dasarnya adalah perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa pada Tuhan YME.



Bukan tanpa alasan mengapa BKKBN mengintervensi remaja, karena di usia ini adalah fase labil dalam hidup individu untuk membentuk jati dirinya seperti apa di masa depan nanti. Untuk itu dengan adanya program untuk membina ahlak dan ketahanan remaja diharapkan dapat mencegah pernikahan dini dan target keluarga berkualitas akan tercapai sehingga bangsa yang maju, kuat dan besar tercapai juga. 

Nah, masalahnya sekarang, ada dimana posisi kita? Sebagai orang tua dari anak-anak kita, tentu kita tidak ingin anak-anak kita mengalami peristiwa tidak mengenakkan yang pernah kita alami bukan misalnya menjadi korban broken home? Oleh sebab itu mari kita dukung kampanye Cinta Keluarga Cinta Terencana yang digalakkan BKKBN untuk mencegah pernikahan dini pada anak kita dengan pembekalan ahlak dan ketahanan di masa remaja anak kita untuk membentuk keluarga yang berkualitas.




Gap Komunikasi 
Disamping itu, bagaimana cara mengatasi masalah yang selama ini terpendam dengan pasangan kita? Bukan tak mungkin lho ya saat terbenam dalam masalah bukannya mencari solusi bersama yang ada kita justru jadi terbawa godaan setan hingga akhirnya memutuskan bercerai. Ujungnya tetap anak-anak lagi yang jadi korban. Muter gitu aja terus siklusnya. Lalu kapan benang kusut ini terurai jika tidak dimulai dari diri sendiri?

Nah, umumnya masalah yang terjadi dalam keluarga adalah komunikasi. Gap komunikasi antar pasangan misalnya yang terjadi pada saya dengan suami ataupun komunikasi antar orang tua dan anak misalnya Rani dengan kedua orang tuanya.

Roslina Verauli, Psikolog

Ibu Roslina Verauli seorang psikolog yang wajahnya dulu kerap kita lihat di televisi dalam tayangan Cerita Perempuan kemudian angkat bicara. Dalam pemaparannya bertemakan Kiat Membangun Keluarga Sehat Dan Terencana ia mencontohkan beberapa keluarga dalam film yakni Keluarga Simpson, Keluarga Incredible, Keluarga Cemara dan Keluarga Si Doel. Manakah diantara keluarga tersebut yang memiliki chemistry? 

Semua sepakat mengatakan bahwa sinetron keluarga Cemara merupakan contoh keluarga berkualitas. Sosok abah yang digambarkan pailit sejak di-PHK namun tetap mampu bertahan dalam getirnya kehidupan didukung anak istrinya. Begitupun dengan keluarga Si Doel yang terlihat begitu crowded namun komunikasi antar keluarga terasa hangat dan kuat. 

Persoalan komunikasi adalah hal krusial dalam keluarga. Karena pada awalnya, sebelum terikat pernikahan, setiap individu terlahir dari keluarga yang memiliki kebudayaan dan karakter berbeda sehingga sifat dan karakter pun menuruninya. Tidak heran bila selama ini orang tua selalu memakai pakem bobot, bibit dan bebet untuk memilihkan calon yang tepat untuk anaknya.



Untuk menjembatani miss communication dalam keluarga ibu Roslina mengajak kita untuk selalu kontak mata dengan yang diajak bicara. Dengan melakukan touch eyes maka chemistry antar keduanya makin kuat. 

Dalam melakukan komunikasi pun sebaiknya kita menghindari kata-kata penuh tuntutan. Misalnya menanyakan soal makan. Daripada bilang, "sayang, udah makan?" maka sebaiknya kita berikan sentuhan perasaan dengan menanyakan begini, "sayang, gimana tadi makannya? Enak?"  

Gimana, lain kan rasanya? 

Begitupun bila kita mengeluh soal uang belanja dapur. Daripada nanyanya pake nuntut, kmudian gas pol pula, misalnya begini, "mas uang belanja udah habis, nih. Gimana dong?"

Nah ada dua tipe lelaki yang harus kita ketahui, tipe protektif dan agresif. Suami kita termasuk yang manakah dari dua tipe tersebut?

Tipe protektif ketika dituntut dia memilih diam mutung sedangkan tipe agresif justru bakal meledak emosinya. Jadi lebih baik beri penekanan bahwa kita sedang tertekan dalam kondisi tersebut. Lalu ajak dia memikirkan jalan keluarnya.

Gimana rasanya, asik dan romantis, kan? hihihi... 

Satu semangat yang berkobar dalam hati saya kemudian mengatakan, tidak ada kata terlambat untuk memulai lagi cinta terencana saya dengan suami dari nol. Life is never flat, rite?

Dan untuk anak-anak, mari kita sepakat mengkampanyekan Stop Pernikahan Dini. Mari bangun wawasan pikiran anak kita bahwa berkeluarga urusannya bukan cuma sumur dan kasur saja, bukan cuma persoalan cinta semata tapi di atas cinta ada tanggung jawab finansial, psikologis, emosi dan komitmen. Dengan cinta terencana elakkan keluarga dari bencana, jadi buat apa buru-buru? Nikmati saja progressnya, toh kalau jodoh juga tidak lari kemana.











Tidak ada komentar