Kemelut Pekerja Outsourcing Di Pelabuhan Tanjung Priuk



... Tapi hidup bukanlah hal yang mudah
Ditinggalkan itu soal biasa
Ku menangis tanpa air mata
Berteriak tanpa suara ...

Saya termangu. Senandung lagu Kerispatih pas sekali rasanya untuk menggambarkan perasaan  sekitar 400 pekerja outsourcing PT JICT yang terancam di-PHK masal saat ini. 

Kemelut pekerja outsourcing PT JICT (Jakarta International Container Terminal) bak pendulum yang datang dan menikam sejak awal Januari 2018 lalu. Pemicunya, perusahaan outsourcing yang menyuplai pekerja untuk bekerja di PT JICT tidak lagi bekerjasama dengan perusahaan jasa bongkar muat petikemas tersebut. Oleh sebab itu, seluruh pekerjaan dilimpahkan ke vendor baru yang menang tender ; karena mampu menyediakan harga buruh lebih rendah bagi PT JICT.

sejak Senin malam 16 Juli 2018 sebanyak 30 - 40 orang pekerja outsourcing mendirikan tenda di depan kantor Sudin Tenaga Kerja dan Trasmigrasi Jak Ut kawal inspeksi outsourcing dan alur produksi PT JICT

Sebagai pekerja, takut kehilangan sumber mata pencaharian bisa dipahami jika merunut situasi selama 7 bulan terakhir. Pada saat itu, PT JICT telah melakukan pengurangan sebanyak 400 orang pekerja outsourcingnya; diantaranya operator Tallyman dan RTGC.

Tidak semudah yang dikira rupanya
Sesuai dengan jenis pekerjaan bongkar muat peti kemas dan container besar, pekerjaan operator Tallyman dan RTGC berhubungan dengan alat berat. Seorang operator Tallyman bekerja untuk mencatat jumlah barang yang akan dimuat ke atas kapal. Ia juga bertanggung jawab untuk memeriksa kondisi muatan, jumlah muatan dan kecocokan dengan dokumen resmi pemuatan barangnya.




Sepertinya mudah, ya? 

Tunggu dulu. Dalam pelaksanaannya, pekerjaan ini membutuhkan kejelian dan konsentrasi tinggi. Dia harus menghitung dengan tepat jumlah muatan sesuai jenisnya, asalnya, ukurannya dan ruangan pemuatannya. Kalau salah? hmmmm.... 

Begitupun dengan operator RTGC (Rubber Tyred Gantry Crane) sebuah alat besar yang digunakan di container yard. Operator RTGC bertugas untuk melakukan proses bongkar muat dari truk ke container yard atau sebaliknya. Meskipun pekerjaan ini terdengar sangat simple, terlebih alat ini digerakkan hanya dengan ban dan bergerak maju mundur saja, tapi dalam pelaksanaanya tidak sesederhana yang kita kira. Bergerak terlalu mundur bisa menabrak, terlalu maju juga bisa menabrak.

jenis pekerjaan di pelabuhan diantaranya memindahkan container-container seperti ini menggunakan alat besar seperti jepitan sejenis Crane 

jenis pekerjaan lainnya misalnya proses bongkar muat dari truk ke container yard atau sebaliknya

kerugian akibat SDM yang tidak handal 
Oleh sebab itu, pada prinsipnya semua pekerjaan di pelabuhan khususnya operator Tallyman dan operator RTGC harus ditangani oleh pekerja yang terampil untuk menjamin keselamatan dan kelancaran bongkar muat petikemas. Pasalnya, jika operator alat berat tidak berpengalaman atau memiliki keahlian dan dipaksakan kemampuannya dalam bekerja maka akan berpotensi terjadinya kecelakaan kerja yang dapat merugikan secara global, seperti berikut ini. 

Dari data yang diolah dari komplain pelanggan JICT per Januari sampai Maret 2018 diketahui kerugian JICT akibat pekerja yang berasal dari vendor tidak kompeten : 

Kapal pindah karena lambannya pelayanan vendor baru senilai Rp 8,7 milyar

Double berthing time (layanan masa penyandaran kapal dan proses bongkar muat) karena manajemen mencoba mengakomodir vendor baru untuk belajar berproses senilai Rp 112,8 juta yang berdampak pada biaya logistik 

Ritase truk (harga sewa truk yang hitungannya 1 rit = satu kali bongkar satu kali muat barang) yang berkurang signifikan karena harus berjam-jam menunggu pelayanan di JICT senilai Rp 37,5 milyar

Delay kapal-kapal ekspor impor yang dilayani oleh JICT paska peralihan vendor senilai Rp 4,86 milyar

Dari total kerugian di atas sejumlah Rp 51,1 milyar sedangkan nilai kontrak pekerjaan kurang dari Rp 20 milyar. Bisa dibayangkan berapa banyak kerugiannya akibat SDM dari vendor baru yang tidak kompeten, kan?

Sebegitu pentingnya SDM handal seperti operator Tallyman danoperator RTGC dalam pekerjaannya pun diapresiasi oleh pemerintah. Sebagaimana tertuang dalam pasal 66 ayat 1 UU Ketenagakerjaan 13/2003 Kemenaker RI menetapkan kegiatan TALLYMAN dan OPERATOR RTGC JICT merupakan kegiatan utama dan tidak dapat diborongkan oleh perusahaan yang berdiri pada 1 April 2010 tersebut.

Padahal, dalam realitanya, PT JICT yang juga anggota dari APTPI (Asosiasi Pengelola Terminal Petikemas Indonesia) terbukti memborongkan pekerjaan inti termasuk kedua jenis pekerjaan tersebut kepada vendor. Nah, kapasitas vendor baru yang tidak memiliki SDM berlisensi (SIO dan atau SIMA) juga tidak memiliki kapasitas pengalaman (sehingga mau saja dibayar murah) mengakibatkan terjadinya kemelut di dua sisi.

Di sisi perusahaan, kekacauan layanan tercatat terjadi 18 kali kecelakaan kerja. yang diikuti dengan kemacetan truk, bengkaknya dwelling time, kerugian besar pengguna jasa dan kasus lainnya. Sedangkan di sisi 200 pekerja yang terikat dalam SPC (Serikat Pekerja Container) terancam berhenti dalam pekerjaannya, menyusul 400 rekan-rekannya yang telah di-PHK sebelum ini.


Untuk menemukan solusi terhadap kemelut yang terjadi, hari Kamis 19 Juli 2018 diadakan inspeksi bersama di PT JITC yang dihadiri oleh berbagai pihak di pelabuhan JICT . Diketahui ada pihak dari Kemenaker, Disnaker Jakarta Utara, Kemenhub dan Otoritas Pelabuhan dan Syahbandar Tanjung Priuk. Dari pihak pekerja diwakili Serikat Pekerja Container yang berjuang agar kepastian hukum pekerja outsourcing jelas dan dapat bekerja kembali dengan status sebagai karyawan tetap dengan dukungan penuh dari FPPI (Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia) dan SPJAI Bersatu (Serikat Pekerja Jasa Armada Indonesia).



Sayang, hasil inspeksi masih belum menemukan jalan keluarnya. Rombongan pengawasan sementara hanya mengamati alur kerja kapal, job description pekerja dan bagaimana alur kerca core bisnis tersebut sebagai inti permasalahannya. Rencananya, tanggal 30 Juli 2018 akan diadakan rapat untuk menentukan hasil akhir dari pertemuan tersebut dimana pihak Dinasker Jakarta Utara berperan sebagai penengah untuk menjembatani masalah SPC dan manajemen agar ditemukan solusi terbaik untuk semua pihak. Baiklah, kita tunggu saja nanti...
















  




Tidak ada komentar