source : www.reonkpost.com |
Pernahkah teman-teman berada di jembatan yang di bawahnya membentang aliran sungai yang deras dan di atasnya dilintasi deru kereta sedang melaju?
Suatu hari, datang sebuah tawaran melalui inbox whatsapp saya. “Sudah pernah ngalamin naik motor yang jauh, belum?” Pesan itu dari teman kecil saya. Tanpa pikir panjang, mumpung masih dalam rangka liburan lebaran saya segera merespon ajakannya untuk mengeksplor Tasikmalaya dan Ciamis. Benak saya lalu dipenuhi rasa penasaran seperti apa, sih, menariknya daerah priangan timur ini.
Di hari yang saya nantikan, sampailah saya di Tasikmalaya. Cukup lama juga perjalanannya. Total selama 12 jam diselingi istirahat untuk sholat dan makan. Meskipun masker, jaket tebal, sarung tangan, kaos kaki dan sneaker mampu menutup rapat tubuh saya dari dinginnya udara pegunungan tapi gejala flu mulai saya rasakan diantaranya sakit kepala, badan pegal-pegal, dan hidung mengeluarkan cairan. Kondisi fisik yang lemah karena kecapekan saya rasa adalah penyebabnya. Untung saya sudah mempersiapkan perbekalan obat, diantaranya adalah minyak kayu putih, plester luka dan Mixagrip.
Karena hari sudah malam kami memutuskan untuk bermalam di sini. Esoknya, alhamdulillah badan saya segar kembali. Sesuai rencana kami akan melanjutkan perjalanan ke Ciamis untuk silaturahim menemui seorang teman. Kata dia, waktu tempuhnya dekat, koq. Dari Tasikmalaya tidak lebih dari satu jam perjalanan untuk sampai di kecamatan Cisaga, kabupaten Ciamis, yang juga merupakan perbatasan Ciamis dengan Banjar. Yeayyy...
Dari pusat kota Tasik, motor kami melaju mengikuti jalan ke arah Jawa Tengah. Kemudian karena arus lalu lintas sempat tersendat oleh banyaknya bis-bis besar, teman saya kemudian memutuskan untuk belok kiri lewat Manonjaya, jalan alternatif menuju Ciamis. Saya sempat ragu, takut kesasar. Tapi dia menenangkan, “udah santai aja. Kalau nyasar, ntar nanya aja sama orang.”
Saya pun mengangguk sambil membatin, kalau ga ada orang yang bisa ditanya, gimana? Deg-degan saya.
Baru saja melaju, perjalanan kami tersendat lagi. Padahal jembatan Cirahong hanya berada tidak sampai 200 meter lagi di depan saya. Bukan motor jika tidak bisa selap selip, tau-tau saya sudah sampai di ujung jembatan baja dengan rangka baja ini. Oalaahh, jadi ini toh yang namanya jembatan Cirahong.
Saya kemudian menyadari. Macet barusan memang sengaja dibuat macet oleh pengatur jalan. Jembatan yang hanya muat seukuran lebar mobil tidak memungkinkan untuk dilewati menjadi dua jalur. Untuk itu, selama 24 jam penuh, pemuda di wilayah ini bergantian mengakomodir sirkulasi lalu lintas dengan cara tandem. Mereka bekerja sukarela saja, stand by di setiap ujung jembatan yang memisahkan bagian selatan yaitu Wanonjaya Tasikmalaya dengan bagian utara yaitu Panyingkiran Ciamis.
Setelah menunggu beberapa saat, penunjuk jalan memberi aba-aba mempersilakan giliran jalan. Saya lihat banyak pengendara yang memberikan uang. Buru-buru saya melepaskan ransel di pundak saya untuk mencari uang receh. Memberi uang seikhlasnya pada pengatur jalan ini.
Pelahan-lahan motor kami menggelinding di atas jembatan kayu yang tidak rata, diikuti kendaraan-kendaraan lain. Suara gelodakan kayu dilindas roda-roda kendaraan membuat saya makin deg-degan. Bagaimana tidak, dari ketinggian 66 meter di tempat saya berada, di bawahnya membentang sungai Citanduy mengalir begitu deras. Bagaimana ini kalau runtuh??? Ya Allah, saya takut sekali.
Perjalanan melintasi jembatan sepanjang 202 meter terasa tidak usai-usai. Tidak mau menyia-nyiakan momen indah seperti ini kemudian saya berusaha menikmati pemandangan di sisi kiri dan kanan jembatan. Masya Allah indahnya. Spontan saya membidik beberapa foto pemandangan dengan smartphone yang selalu saya genggam.
Tiba-tiba...
Motor terasa lebih bergetar. Mungkinkah karena rodanya bertumbukan dengan susunan papan kayu sebagai lintasannya? Ah, bukan.
Mungkinkah karena ada gempa? Ah bukan juga.
Mungkinkah jembatannya mau runtuh?
Pertanyaan saya kemudian terjawab. Sesaat berikut, langit terlihat menggelap. Suara deru semakin kencang. Di atas saya, dalam sekejap rangkaian gerbong kereta sedang melaju kencang. Saya terpana sampai tidak keburu untuk mengabadikan momen istimewa tersebut.
Astaga, jembatan ini difungsikan menjadi dua lintasan rupanya. Di bawahnya difungsikan jadi jalan kendaraan. Di atasnya difungsikan jadi lintasan rel kereta dengan tujuan ke Jawa Tengah.
Jembatan Cirahong benar-benar membuat saya kagum, betapa jembatan ini adalah sebuah karya peninggalan sejarah yang sangat berarti. Ditilik dari teknologinya, jembatan yang dibangun pada jaman Belanda ini konstruksinya sangat kuat ; terbuat dari rangka baja. Dilihat dari sisi seninya, jembatan yang panjangnya 202 meter ini membelah alami dua wilayah yang dibatasi sungai Citanduy yang mengalir deras. Hulu sungai Citanduy tepat berada di antara gunung Sawal dan pegunungan Galunggung dan bermuara di Cilacap Jawa Tengah.
Beruntung sekali saya bisa melintas di atas jembatan Cirahong saat itu. Dari beberapa sumber saya merangkum bahwa jembatan ini dibangun berawal dari hasil loby bupati Galuh (kini Ciamis) Kusumadiningrat kepada pihak Belanda di tahun 1893. Kala itu Kanjeng Prabu Kusumadiningrat mendengar rencana bahwa Belanda akan membangun rel kereta dari Tasikmalaya ke Banjar, tapi tidak melewati Ciamis. Beliau kemudian meminta agar rel kereta melewati Ciamis untuk memudahkan distribusi hasil buminya ke daerah lain. Belanda pun akhirnya menyetujui meskipun saat itu biaya pembuatannya sangat besar. Dan kini, jembatan Cirahong masih tegak berdiri. Perjalanan saya sepanjang 300 kilometer naik motor dari Jakarta ke Ciamis pun sukses ditempuh. Dan record buat saya, karena saya pun batal terkena flu berkat Mixagrip. Alhamdulillah.
Tidak ada komentar