Ini adalah kali ketiga saya menuliskan tentang kemelut yang terjadi di pelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Sebuah cerita klasik yang tampaknya tipis seperti kulit bawang. Hanya soal PHK masal yang menimpa pekerja outsourcing JICT. Tapi ketika dikupas pedasnya luar biasa. Siapa yang mengira dibalik PHK tersebut sejatinya negara kita sedang krisis kedaulatan maritim?
Semua berawal pada pertengahan Juli 2018 silam. Saat itu, pekerja outsourcing JICT yang di PHK masal dengan rekan-rekannya dari Serikat Pekerja Container mendirikan tenda keprihatinan di depan kantor Sudinakertrans Jakarta Utara. Selama beberapa hari mereka menginap di tenda tersebut bukanlah untuk berdemo. Akan tetapi sebagai bentuk simbol kesepakatan antara pekerja dengan Pemkot Jakarta Utara.
Adapun bentuk kesepakatan tersebut adalah akan dilaksanakannya inspeksi bersama terkait PHK masal 400 pekerja outsourcing JICT. Inspeksi bersama ini melibatkan Otoritas Pelabuhan Syahbandar, Polres Pelabuhan, Kementrian Perhubungan RI, JICT, Pelindo II, Dewan Pelabuhan, Serikat Pekerja Container dan Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia serta seluruh Serikat Pekerja di lingkungan Tanjung Priuk. Rencananya, wakil gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno juga hadir.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya inspeksi bersama itu belum membuahkan titik terang. Seluruh pejabat yang hadir hanya bisa memantau alur pekerjaan di pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia ini.
Pertanyaan Serikat Pekerja JICT belum mendapat jawaban mengapa 400 rekannya di PHK. Padahal ada yang sudah bekerja belasan tahun. Dipertanyakan pula mengapa kecakapan karyawan JICT dalam bekerja tidak diapresiasi JICT. Mereka malah digantikan oleh pekerja dari vendor lain yang tidak kompeten.
baca ini : Kemelut Pekerja Outsourcing di Pelabuhan Tanjung Priuk
Kali kedua saya menuliskan mengenai adanya diskusi bedah buku di Sanggar Maos Tradisi Sleman Yogyakarta baru-baru ini. Ini adalah diskusi kedua yang diselenggarakan terkait dengan diterbitkannya buku Melawan Konspirasi Global di Teluk Jakarta. Yang pertama digelar saat buku ini dilaunching di Jakarta pada bulan Mei 2018 dan yang kedua diselenggarakan di kota pelajar ini.
Kedepannya, rencananya diskusi bedah buku ini akan digelar di kota-kota lain. Tujuannya agar masyarakat mengerti bahwa Serikat Pekerja JICT sedang berjuang supaya JICT sebagai pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia tidak sampai terjual ke luar negeri. Sayang sekali bila aset negara kita yang kaya karena menghasilkan pundi-pundi rupiah yang sangat besar ini bila jatuh ke pihak asing, bukan?
baca ini : Diskusi Bedah Buku Melawan Konspirasi Global di Teluk Jakarta
Untuk merunut semua masalah yang ada di JICT ini memang tidak mudah. Akan tetapi kedua penulis yakni Khoirul Fata dan M Aminudin pandai merangkumnya sehingga mudah dibaca siapapun. Sedikit banyak saya jadi memahami akar permasalahannya. Saya pun ikut menebak-nebak apa motifnya bila dikaitkan dengan bisnis.
Saya memahami bahwa di dalam bisnis siapapun menginginkan keuntungan. Begitupun dengan bisnis jasa pekerjaan bongkar muat di pelabuhan. Di sini transaksi export import barang prospeknya bagus sekali. Pertumbuhan ekonomi dapat tumbuh dengan cepat terkait dengan hasil keuntungan yang didapat.
Akan tetapi dalam kenyataannya keuntungan yang didapat negara kita justru tersedot ke pihak asing. Sebagaimana termuat di halaman 26 bahwa prosentase saham yang paling besar justru dimiliki pihak asing yakni Hutchison Port Holding, sebuah perusahaan asal Hongkong.
Namun masalah mulai meruncing sejak ditandatanganinya Letter Of Intent (LOI) oleh Presiden Soeharto di tahun 1997 - 1998 dengan IMF. Saat itu Indonesia mendapat bantuan dana dengan persyaratan bahwa BUMN harus diprivatisasi. Salah satunya yang terkena adalah pelabuhan. Nah inilah yang menjadi dasar mengapa prosentase saham di JICT mayoritas dipegang asing.
Sementara itu masalah lain muncul ketika terjadi kesepakatan perpanjangan kontrak JICT ke Hutchison hingga tahun 2039. Padahal kontrak pertama yang berlaku selama 20 tahun saja baru akan berakhir tahun depan, 2019. Sedangkan perpanjangan kontrak jilid II nyatanya telah diteken sejak tahun 2014 lalu. Timbul pertanyaan, mengapa dari 7 tahun sebelum kontrak jilid pertama usai sudah ditandatangani lagi kontrak barunya?
Dalam acara diskusi bedah buku tersebut, salah satu penulis yang hadir yakni Khorul Fata menceritakan bahwa proses penulisan buku sangat singkat. Kurang lebih selama sebulan saja. Nyatanya kehadiran buku ini mengundang banyak respon positif dari berbagai kalangan. Berbagai dukungan dari berbagai tokoh pun mengalir melalui ucapan sekapur sirih yang disematkan di halaman-halaman pertama buku ini. Bahkan narasumber yang hadir dalam setiap diskusi bedah buku pun proaktif menyumbangkan pendapat dan sarannya.
Sebagai masyarakat awam tentu saja saya ikut bersyukur dengan kehadiran buku ini. Saya berharap semoga di acara road show diskusi bedah buku berikutnya akan semakin banyak kepala yang memahami benang merah permasalahan di pelabuhan. Meskipun pendapat kita mungkin bila diibaratkan seperti debu di gurun (baca : tidak penting) setidaknya dari sedikit info yang kita punya kita bisa mensosialisikannya lagi ke orang-orang di sekitar. Seperti misalnya melalui tulisan dalam blog saya ini.
Adapun bentuk kesepakatan tersebut adalah akan dilaksanakannya inspeksi bersama terkait PHK masal 400 pekerja outsourcing JICT. Inspeksi bersama ini melibatkan Otoritas Pelabuhan Syahbandar, Polres Pelabuhan, Kementrian Perhubungan RI, JICT, Pelindo II, Dewan Pelabuhan, Serikat Pekerja Container dan Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia serta seluruh Serikat Pekerja di lingkungan Tanjung Priuk. Rencananya, wakil gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno juga hadir.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya inspeksi bersama itu belum membuahkan titik terang. Seluruh pejabat yang hadir hanya bisa memantau alur pekerjaan di pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia ini.
Pertanyaan Serikat Pekerja JICT belum mendapat jawaban mengapa 400 rekannya di PHK. Padahal ada yang sudah bekerja belasan tahun. Dipertanyakan pula mengapa kecakapan karyawan JICT dalam bekerja tidak diapresiasi JICT. Mereka malah digantikan oleh pekerja dari vendor lain yang tidak kompeten.
baca ini : Kemelut Pekerja Outsourcing di Pelabuhan Tanjung Priuk
Kali kedua saya menuliskan mengenai adanya diskusi bedah buku di Sanggar Maos Tradisi Sleman Yogyakarta baru-baru ini. Ini adalah diskusi kedua yang diselenggarakan terkait dengan diterbitkannya buku Melawan Konspirasi Global di Teluk Jakarta. Yang pertama digelar saat buku ini dilaunching di Jakarta pada bulan Mei 2018 dan yang kedua diselenggarakan di kota pelajar ini.
Kedepannya, rencananya diskusi bedah buku ini akan digelar di kota-kota lain. Tujuannya agar masyarakat mengerti bahwa Serikat Pekerja JICT sedang berjuang supaya JICT sebagai pelabuhan petikemas terbesar di Indonesia tidak sampai terjual ke luar negeri. Sayang sekali bila aset negara kita yang kaya karena menghasilkan pundi-pundi rupiah yang sangat besar ini bila jatuh ke pihak asing, bukan?
baca ini : Diskusi Bedah Buku Melawan Konspirasi Global di Teluk Jakarta
Untuk merunut semua masalah yang ada di JICT ini memang tidak mudah. Akan tetapi kedua penulis yakni Khoirul Fata dan M Aminudin pandai merangkumnya sehingga mudah dibaca siapapun. Sedikit banyak saya jadi memahami akar permasalahannya. Saya pun ikut menebak-nebak apa motifnya bila dikaitkan dengan bisnis.
Saya memahami bahwa di dalam bisnis siapapun menginginkan keuntungan. Begitupun dengan bisnis jasa pekerjaan bongkar muat di pelabuhan. Di sini transaksi export import barang prospeknya bagus sekali. Pertumbuhan ekonomi dapat tumbuh dengan cepat terkait dengan hasil keuntungan yang didapat.
Akan tetapi dalam kenyataannya keuntungan yang didapat negara kita justru tersedot ke pihak asing. Sebagaimana termuat di halaman 26 bahwa prosentase saham yang paling besar justru dimiliki pihak asing yakni Hutchison Port Holding, sebuah perusahaan asal Hongkong.
Namun masalah mulai meruncing sejak ditandatanganinya Letter Of Intent (LOI) oleh Presiden Soeharto di tahun 1997 - 1998 dengan IMF. Saat itu Indonesia mendapat bantuan dana dengan persyaratan bahwa BUMN harus diprivatisasi. Salah satunya yang terkena adalah pelabuhan. Nah inilah yang menjadi dasar mengapa prosentase saham di JICT mayoritas dipegang asing.
Sementara itu masalah lain muncul ketika terjadi kesepakatan perpanjangan kontrak JICT ke Hutchison hingga tahun 2039. Padahal kontrak pertama yang berlaku selama 20 tahun saja baru akan berakhir tahun depan, 2019. Sedangkan perpanjangan kontrak jilid II nyatanya telah diteken sejak tahun 2014 lalu. Timbul pertanyaan, mengapa dari 7 tahun sebelum kontrak jilid pertama usai sudah ditandatangani lagi kontrak barunya?
Dalam acara diskusi bedah buku tersebut, salah satu penulis yang hadir yakni Khorul Fata menceritakan bahwa proses penulisan buku sangat singkat. Kurang lebih selama sebulan saja. Nyatanya kehadiran buku ini mengundang banyak respon positif dari berbagai kalangan. Berbagai dukungan dari berbagai tokoh pun mengalir melalui ucapan sekapur sirih yang disematkan di halaman-halaman pertama buku ini. Bahkan narasumber yang hadir dalam setiap diskusi bedah buku pun proaktif menyumbangkan pendapat dan sarannya.
Sebagai masyarakat awam tentu saja saya ikut bersyukur dengan kehadiran buku ini. Saya berharap semoga di acara road show diskusi bedah buku berikutnya akan semakin banyak kepala yang memahami benang merah permasalahan di pelabuhan. Meskipun pendapat kita mungkin bila diibaratkan seperti debu di gurun (baca : tidak penting) setidaknya dari sedikit info yang kita punya kita bisa mensosialisikannya lagi ke orang-orang di sekitar. Seperti misalnya melalui tulisan dalam blog saya ini.
Tidak ada komentar