Gadget memang jadi momok untuk kita para orang tua, khususnya yang tinggal di kota besar. Rata-rata anaknya sudah aktif main gadget sejak kecil. Bahkan ada cerita dari tetangga saya. Anaknya yang masih berumur dua tahun saat diberi buku bacaan yang penuh gambar dan warna alih-alih dikiranya gadget. Jarinya malah menggeser-geser lembar halaman buku yang disangkanya layar touchscreen.
Lain cerita lagi soal gadget, nih. Mungkin teman-teman masih ingat viralnya video anak yang lagi 'main hape' di sebelah ibunya di tengah keramaian. Sepertinya ga ada yang salah, bukan? Tapi nyatanya anak perempuan itu lagi asyik nonton video tidak senonoh. Kejadian tersebut sontak memancing kegusaran netizen. Koq ibunya diam aja, sih?! *Gregetan
Jujur, saya sedikit kuatir juga bila anak-anak saya kebablasan main gadget. Tapi gimana lagi, tugas sekolah pun apa-apa source-nya diambil dari internet. Seperti halnya Mima, putri sulung Mona Ratuliu yang sekarang ini sudah kelas X SMA. Selain mencari source di internet, tugas-tugas sekolahnya pun dikirim via email gurunya. Oleh sebab itu istri Indra Brasco ini mau tidak mau akhirnya memberi gadget yang sesuai untuk Mima.
Padahal, beberapa tahun lalu, ketika Mima masih duduk di kelas 4 SD ia sudah berkenalan dengan gadget. Raka, adiknya yang masih berusia 5 tahun pun meniru. Akibat keasyikan main gadget mereka jadi enggan beraktivitas. Lebih suka utak-atik gadget. "Kalau kami anggap dia sudah terlalu banyak main dan memintanya berhenti, dia jadi cenderung marah-marah," kenang Mona dalam launching buku Digital ParenThink di Lippo Kemang Mal, Jakarta Selatan kemarin.
Mona melanjutkan, sampai suatu hari ibu dari Mima, Raka dan Nala ini memutuskan menyita gadget dari tangan putri sulungnya ini lalu menggantinya dengan ponsel biasa. Bukan hal yang mudah memang. Apalagi saat itu teman-teman Mima begitu leluasa memegang gadget. "Resikonya terlalu besar, deh!" papar mantan pemeran Poppy di film Lupus ini lugas.
Atas dasar pengalamannya ini yang dia yakin juga pasti dialami para Moms di luar sana, Mona pun menemukan ide untuk membuat buku. Masih seputar pola yang sama dengan buku pertama, sih, yakni soal pengasuhan anak. Tapi untuk buku ke dua ini mantan presenter ini menyoroti bahasan pada penggunaan gadget pada anak. Judulnya Digital ParenThink.
Buku Digital ParentThink ditulis Mona lebih kurang 4 bulan dengan dua bulan untuk masa editingnya. Totalnya 6 bulan. Cukup singkat juga buat ukuran saya yang terkadang masih dihinggapi writers block alias perlambatan kreatifitas.
Akan tetapi, meskipun singkat dalam proses pembuatannya, buku yang dipublish oleh Noura Publishing ini adalah bacaan rekomendasi saya. Gaya bahasa bertutur yang digunakan Mona sangat menarik, sehingga mudah dicerna para Moms yang otaknya udah mampet buat mikirin ini itu. Selain itu, dalam buku ini dilengkapi pula dengan pengetahuan para pakar, infografis gambar yang eyecatching dan tips Mona terkait pengalamannya dalam mengasuh anak-anaknya. Buku yang dibandrol dengan harga Rp 69.000,- ini super duper nambah wawasan deh. Dan lagi dalam buku ini kita pun diajak terlibat langsung latihan membuat list schedul seperti yang Mona lakukan pada anak-anaknya.
Dalam launching bukunya kemarin, Mona mengakui tantangan dalam mengasuh anak zaman now yang hobi main gadget tidak bisa dimungkiri membuat orang tua jadi resah. Tapi ibarat pisau bermata dua, gadget dan internet mempunyai sisi positif dan sisi negatif. Tinggal bagaimana kita sebagai orang tua dapat bersikap bijaksana dan selalu mendampingi anak-anak ketika main gadget sesuai usianya.
Terbukti kisah sukses Naura (penyanyi), Naya (pengusaha Slime), Keisya (sukses jualan pastry di Instagram) dan Rafi Ramadhan (pemusik) membukakan mata kita bahwa gadget dan internet tidak selalu buruk buat anak, koq. So, kita ga perlu kuatir dengan kehadiran internet. Apalagi internet sudah menjadi bagian dari keseharian mereka.
Novita Angie dan Ersa Mayori yang turut mendampingi Mona saat talkshow berlangsung jadi mengingatkan saya akan anak-anak di rumah. Meskipun termasuk dekat dengan anak-anak, gagap teknologi pun masih saya alami. Ada aja hal sepele terkait gadget yang dengan stupid-nya masih saya tanyakan ke mas Tsaka di rumah. Seperti misalnya, ini gimana sih mas caranya kirim file foto? Yang lantas dijawab mas Tsaka, "kirimnya pake JNE, aja bu."
Ihhh, ngeselin, kan...
Kalau dipikir-pikir zaman kita kecil memang berbeda karakteristiknya dengan anak zaman now. Anak zaman now lebih berani. Tapi, berani yang saya maksud bukan berani konteksnya kurang ajar, ya. Tapi berani menyampaikan pendapat dan punya inisiatif. Beda banget dengan zaman saya kecil dulu yang penurut dan pasif. Sekali ga boleh, ya udah ga boleh. Selesai.
Nah, tapi kata Ibu Verauli Roslina, seorang psikolog dalam buku Digital ParenThink yang saya baca sekilas, antarpopulasi generasi itu sebenarnya memiliki pola karakter yang sama. Yang membedakan adalah teknologi semakin lama semakin canggih. Sehingga kita (mau tidak mau, suka tidak suka harus) beradaptasi terhadap keadaan dan berujung pada perubahan gaya hidup.
Ditambahkan Mona, "setiap anggota keluargaku lahir dari generasi yang berbeda. Jadi mau gak mau harus merangkul semua generasi."
Ah iya, betul juga. Di tengah zaman dan perangkat teknologi yang kian maju mau tidak mau, suka tidak suka kita harus mengejar perkembangan teknologi supaya ga kewalahan. Lantas gimana cara memulainya? Beli dong buku Digital ParenThink yang sudah dijual di toko buku, semuanya ada di sana.
Keluarga Mona : beda generasi tapi tetap harus merangkul semuanya |
Padahal, beberapa tahun lalu, ketika Mima masih duduk di kelas 4 SD ia sudah berkenalan dengan gadget. Raka, adiknya yang masih berusia 5 tahun pun meniru. Akibat keasyikan main gadget mereka jadi enggan beraktivitas. Lebih suka utak-atik gadget. "Kalau kami anggap dia sudah terlalu banyak main dan memintanya berhenti, dia jadi cenderung marah-marah," kenang Mona dalam launching buku Digital ParenThink di Lippo Kemang Mal, Jakarta Selatan kemarin.
Mona melanjutkan, sampai suatu hari ibu dari Mima, Raka dan Nala ini memutuskan menyita gadget dari tangan putri sulungnya ini lalu menggantinya dengan ponsel biasa. Bukan hal yang mudah memang. Apalagi saat itu teman-teman Mima begitu leluasa memegang gadget. "Resikonya terlalu besar, deh!" papar mantan pemeran Poppy di film Lupus ini lugas.
Atas dasar pengalamannya ini yang dia yakin juga pasti dialami para Moms di luar sana, Mona pun menemukan ide untuk membuat buku. Masih seputar pola yang sama dengan buku pertama, sih, yakni soal pengasuhan anak. Tapi untuk buku ke dua ini mantan presenter ini menyoroti bahasan pada penggunaan gadget pada anak. Judulnya Digital ParenThink.
Buku Digital ParentThink ditulis Mona lebih kurang 4 bulan dengan dua bulan untuk masa editingnya. Totalnya 6 bulan. Cukup singkat juga buat ukuran saya yang terkadang masih dihinggapi writers block alias perlambatan kreatifitas.
Akan tetapi, meskipun singkat dalam proses pembuatannya, buku yang dipublish oleh Noura Publishing ini adalah bacaan rekomendasi saya. Gaya bahasa bertutur yang digunakan Mona sangat menarik, sehingga mudah dicerna para Moms yang otaknya udah mampet buat mikirin ini itu. Selain itu, dalam buku ini dilengkapi pula dengan pengetahuan para pakar, infografis gambar yang eyecatching dan tips Mona terkait pengalamannya dalam mengasuh anak-anaknya. Buku yang dibandrol dengan harga Rp 69.000,- ini super duper nambah wawasan deh. Dan lagi dalam buku ini kita pun diajak terlibat langsung latihan membuat list schedul seperti yang Mona lakukan pada anak-anaknya.
Dalam launching bukunya kemarin, Mona mengakui tantangan dalam mengasuh anak zaman now yang hobi main gadget tidak bisa dimungkiri membuat orang tua jadi resah. Tapi ibarat pisau bermata dua, gadget dan internet mempunyai sisi positif dan sisi negatif. Tinggal bagaimana kita sebagai orang tua dapat bersikap bijaksana dan selalu mendampingi anak-anak ketika main gadget sesuai usianya.
Terbukti kisah sukses Naura (penyanyi), Naya (pengusaha Slime), Keisya (sukses jualan pastry di Instagram) dan Rafi Ramadhan (pemusik) membukakan mata kita bahwa gadget dan internet tidak selalu buruk buat anak, koq. So, kita ga perlu kuatir dengan kehadiran internet. Apalagi internet sudah menjadi bagian dari keseharian mereka.
Rafi Ramadhan dan bunda |
Novita Angie dan Ersa Mayori yang turut mendampingi Mona saat talkshow berlangsung jadi mengingatkan saya akan anak-anak di rumah. Meskipun termasuk dekat dengan anak-anak, gagap teknologi pun masih saya alami. Ada aja hal sepele terkait gadget yang dengan stupid-nya masih saya tanyakan ke mas Tsaka di rumah. Seperti misalnya, ini gimana sih mas caranya kirim file foto? Yang lantas dijawab mas Tsaka, "kirimnya pake JNE, aja bu."
Ihhh, ngeselin, kan...
Kalau dipikir-pikir zaman kita kecil memang berbeda karakteristiknya dengan anak zaman now. Anak zaman now lebih berani. Tapi, berani yang saya maksud bukan berani konteksnya kurang ajar, ya. Tapi berani menyampaikan pendapat dan punya inisiatif. Beda banget dengan zaman saya kecil dulu yang penurut dan pasif. Sekali ga boleh, ya udah ga boleh. Selesai.
Nah, tapi kata Ibu Verauli Roslina, seorang psikolog dalam buku Digital ParenThink yang saya baca sekilas, antarpopulasi generasi itu sebenarnya memiliki pola karakter yang sama. Yang membedakan adalah teknologi semakin lama semakin canggih. Sehingga kita (mau tidak mau, suka tidak suka harus) beradaptasi terhadap keadaan dan berujung pada perubahan gaya hidup.
Ditambahkan Mona, "setiap anggota keluargaku lahir dari generasi yang berbeda. Jadi mau gak mau harus merangkul semua generasi."
Ah iya, betul juga. Di tengah zaman dan perangkat teknologi yang kian maju mau tidak mau, suka tidak suka kita harus mengejar perkembangan teknologi supaya ga kewalahan. Lantas gimana cara memulainya? Beli dong buku Digital ParenThink yang sudah dijual di toko buku, semuanya ada di sana.
Bareng Mona dan teman-teman dari Mom Blogger Commuity :-* |
Tidak ada komentar