Mungkinkah Sistem Kecerdasan Buatan Menggantikan Fungsi Praktisi Hukum?



Mungkinkah sistem kecerdasan buatan menggantikan fungsi praktisi hukum? Pertanyaan ini terus menyeruak di kepala saya waktu menonton drama korea Start Up. Diceritakan bagaimana Nam Do San dan teman-temannya menyampaikan ide yang sangat brilyan. Mereka menemukan ada ketidakidentikan tulisan dan tanda tangan seseorang, sehingga tidak dapat dipalsukan even oleh saudara kembarnya sekalipun. Dan hasilnya? Tingkat keakurasian sistem yang mereka buat melalui Artificial Intelligence scorenya 99,8%. Perfecto...

Manfaat dan Bahaya Teknologi

Kemajuan teknologi yang semakin cepat berkembang nyatanya membuat kita geleng-geleng kepala. Ada banyak sekali peran teknologi yang lekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Siapa sangka sistem kecerdasan buatan nyatanya mampu memprediksi barang kesukaan kita setiap belanja online. Teknologi jugalah yang memandu perjalanan kita dari titik lokasi sampai ke tujuan lengkap dengan alternatif rute, jarak, waktu tempuh dengan jenis alat transportasi yang kita inginkan. 

Begitu banyak manfaatnya sehingga teknologi ini dapat diaplikasikan di banyak bidang, mulai dari keamanan, kesehatan, pendidikan, pertanian hingga sektor hukum. Namun, ibarat pisau bermata dua, teknologi juga dapat menjadi bahaya bila jatuh ke tangan yang salah. Tergantung manusianya aja. Ngeri ya membayangkan serangan rekayasa sosial otomatis dari penjahat cyber yang dengan mudah membuat situs, email atau link berbahaya menggunakan identitas curian. Bahkan gaya penulisan korban pun dapat ditiru. 

Contoh lain mengenai berita palsu atau hoax berupa tayangan video yang menampilkan tokoh terkenal seolah-olah mengumumkan berita yang mengundang kontroversi. Padahal sosok yang kita lihat nyata di video tersebut bukanlah sosok aslinya melainkan Artificial Intelligence. See, dengan mudahnya kita tertipu! 😤

Well, tidak bisa dipungkiri kita sudah memasuki era revolusi industri 4.0. Suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus beradaptasi agar tidak tergilas jaman. Mari kita tengok ke belakang, dulu kita pernah mengalami jamannya bayar tol melalui penjaga loket namun sekarang kita cukup tapping e-money. 

Itu baru satu profesi. Masih banyak profesi lain yang akan tergantikan oleh teknologi kecerdasan buatan yang harus kita waspadai salah satunya adalah profesi Lawyer. Akankah profesi ini nantinya akan menghilang terkait maraknya penggunaan tanda tangan digital dan adanya UU Cipker yang mendesak penggunaan dokumen fisik digantikan menjadi dokumen elektronik. 

Peluang dan Tantangan dalam Legal Tech

Alhamdulillah saya berkesempatan hadir dalam webinar yang digelar IDLC berkolaborasi dengan Prodi Magister Kenotariatan FH UNDIP pada Sabtu, 21 November 2020 silam. Acara yang berlangsung selama 2,5 jam sangat seru. Terbukti materi yang terbilang cukup absurd di dunia hukum sangat menarik antusias 1.000 peserta yang concern di bidang hukum dari seluruh penjuru Indonesia. 



Bertajuk Inovasi Legal Tech Sebagai Sebuah Peluang dan Tantangan menghadirkan lima narasumber yang kompeten di bidangnya dipandu moderator Glenna Martin, S.H., M.Kn, yakni : 

1. Irma Devita, S.H., M.Kn - founder IDLC

2. Prof Dr. Budi Santoso, S.H., M.S - Ketua Prodi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

3. Prof Dr. Retno Saraswati S.H., M.Hum - Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

4. Evandri G. Pantoue, S.H. - CEO Indexalaw

5. Andre Rahadian, S.H., LL.M., M.Sc - partner or Dentons HPRP

6. Bimo Prasetio, S.H. - Founder Smart Legal 

Tantangan dan Peluang dalam Digitalisasi Kenotariatan

Terkait dengan perkembangan digitalisasi kenotariatan, Irma Devita - Notaris dan Pejabat PPAT yang juga founder IDLC dan dikenal sebagai pembicara di berbagai seminar tidak memungkiri kenyataan pekerjaan Notaris mengalami evolusi luar biasa. 

Dari sejarahnya, sekitar tahun 1962 seluruh pekerjaan kenotariatan ditulis tangan bahkan sertifikat tanah pun ditulis tangan. Dalam evolusi berikutnya penulisan tangan pun kemudian digantikan dengan mesin ketik. 

Sebagai generasi yang pernah merasakan jamannya pengetikan manual dan harus hapal luar kepala isi akte sejumlah 40 halaman dirinya membandingkan dengan generasi milenial yang dengan mudah bisa mencari informasi dari mbah Google. Dengan teknologi yang ada saat ini mahasiswa prodi Hukum bisa meng-copas dengan mudah tanpa harus menghapal sampai ngelotok. Namun dari kemudahan tersebut ia juga menyayangkan masih adanya mahasiswa yang belum dapat membedakan kuasa menjual dan kuasa menyewakan. 

Menurut Irma ada banyak peluang yang dapat dilirik praktisi hukum seiring dengan perkembangan jaman yang apa-apa serba digital. Dirinya menyebutkan sektor pembiayaan yang melibatkan perbankan, smart appliance, market place dan lainnya. Bukan tak mungkin pekerjaan praktisi Hukum akan bersinggungan  juga dengan teknologi smart contract, block chain, artificial intelligence maupun cyber security. 

Terlebih sejak diluncurkannya UU Omnibuslaw yang mendesak adanya perubahan  layanan. Rencananya tahun 2024 layanan sertifikat hak atas tanah, perijinan badan hukum, perusahaan, yayasan, koperasi hingga pembuatan akta PPAT menjadi ektronik. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi seorang pejabat pembuat akta tanah yang harus menjaga keotentikan dari sebuah akta yang dibuatnya. 

Bisa jadi nanti kita harus berhadapan dengan masanya di mana kita membacakan akta secara virtual. Lantas bagaimana dari sisi civil law jika pihak yang dihadirkan adalah rekayasa artificial intelligence untuk bertanya jawab dengan Notaris dan bisa menandatangani dokumen? Ini adalah tantangan kita. ~ Irma Devita.

Maka sebagai orang yang berkecimpung di profesi tertua di dunia praktisi hukum seorang notaris harus menjadi garda terdepan yang menjaga keotentikan dokumen, peralihan saham tanah atau melakukan perbuatan hukum yang penting. Kita harus bersiap beradaptasi menyambut era disrupsi dengan mindset baru dan mengasah keterampilan menggunakan perangkat teknologi yang dibutuhkan agar tidak tertinggal. Seperti yang dilakukan Bimo Prasetio dan Andre Rahadian yang telah menggunakan Legal Tech dalam pekerjaannya. 



Hukum Bukan Momok. Lawyer bukanlah Sosok yang sulit Dijangkau

Apakah internet adalah ancaman bagi Lawyer? Bimo Prasetio founder Smart Legal mengawali sesinya dengan pertanyaan menggelitik. 

Ia menandaskan sejatinya internet jangan dianggap menjadi ancaman tapi peluang. Karena di Amerika sendiri peran mesin sangat membantu sekali dalam membuat riset. Dan beberapa Lawyer di sana sudah jamak pula menggunakan kemudahan teknologi Artificial Intelligence. 

Bimo mengatakan, dari sisi ekonomi adanya Atificial Intelligence membuat semakin murah pengeluaran cost efiesiensi dan di sisi lain user bisa mendapat suatu informasi dengan lebih cepat. Dengan keakuratan data dan informasi yang diberikan, peran teknologi dapat meminimalisasi human error karena pekerjaan Lawyer sendiri memerlukan keakuratan. 

Dengan kelebihannya Artificial Intelligence memang dapat memangkas pekerjaan manusia. "Akan tetapi ada beberapa hal yang tidak dapat digantikan mesin apapun saat ini. Karena masih ada Undang-undang Advokat yang menaungi dan masih adanya kebutuhan akan profesi Lawyer yang memiliki keahlian khusus," tandasnya. 

Pesannya kemudian, kita tidak boleh berkecil hati. Justru dengan adanya kehadiran teknologi kita harus punya ciri khas yang menjadi kelebihan kita. Sehingga kelebihan kita itulah yang akan membuat peran kita tetap dibutuhkan. Bimo mencontohkan pekerjaan Creative Legal Thinking. Pekerjaan ini sangat membutuhkan skill Lawyer yang dapat melihat sebuah masalah atau situasi dari sudut pandang baru serta menawarkan solusi yang tidak konvensional. Kuncinya adalah jauhkan mental block. Lawyer harus bisa berpikir kreatif dan inovatif. 

Tak kenal maka tak sayang demikian kesimpulan yang saya dapat dari penjelasan Bimo. Bahwa teknologi sejatinya memudahkan sepanjang kita tau bagaimana memanfaatkannya. Ayo kenalan dengan dunia digital, apa sih yang dicari orang? Bagaimana customer menemukan kita melalui perambahan dunia internet? Bagaimana caranya kita mudah ditemukan customer?

Bimo kemudian menjelaskan mengenai Smart Legal Network - jaringan penyedia jasa hukum yang menyediakan layanan hukuman profesional untuk korporate dan litigasi yang didirikannya. Tidak berhenti di situ bersama teman-temannya ia kemudian meluncurkan Smartlegal.id sebagai platform edukasi dan advokasi yang menjembatani masyarakat untuk mengakses hukum jadi semakin mudah. 

"Ini menjadi solusi bagi masyarakat untuk mengakses hukum. Saya ingin mengubah mindset bahwa hukum adalah momok dan sesuatu yang sulit dijangkau," tegasnya. 

Lawyer Bekerja Remote Dari Rumah

Lain halnya dengan Andre Rahadian - partner of Dentons HPRP sebuah lawfirm yang sudah mengadopsi konsep Law Tech di perusahaannya. 

Dirinya mengungkapkan jauh sebelum maraknya WFH akibat pandemi, tepatnya sejak dua tahun lalu perusahaannya telah menjalankan kebijakan kerja remote. Jadi seorang Lawyer tidak harus ngantor setiap hari. 

Lelaki ini menyampaikan, kemudahan teknologi inilah yang bisa diaplikasikan dalam pekerjaan. Yang dibutuhkan adalah kemudahan akses ke file saja. Apalagi sekarang server ga perlu besar. Pakai cloud kita sudah bisa mengakses file di manapun dan kapanpun. Tentu secara umum dari segi cost menjadi lebih terjangkau. 

Saat ini pekerjaan Artificial Intelligence hanya dapat melakukan pekerjaan yang sifatnya template atau formatif. Contohnya database time sheet, absensi staf, penagihan ke klien dan keuangan kantor yang melibatkan pihak ke tiga. Tetapi seiring dengan perkembangan teknologi bukan tidak mungkin Artificial Intelligence akan mampu melakukan pekerjaan analitis sebagaimana yang dilakukan seorang Lawyer. 

Untungnya bahasa Indonesia adalah bahasa yang susah digunakan karena banyak sinonim dan turunan kata yang bermakna bias. Dengan demikian negara kita tidak menganut konsep juris prudensi. Sedangkan di Amerika sudah ada teknologi Artificial Intelligence yang bisa membuat gugatan atau bantahan dan bisa memprediksi jawaban apa yang diterima pihak ke tiga atau hakim dalam masalah arbitrase misalnya. 

Andre menyampaikan, walaupun profesi Lawyer tidak dapat sepenuhnya digantikan Artificial Intelligence namun pekerjaan yang memungkinkan dikerjakan Artificial Intelligence juga tidak kecil. Contoh translasi istilah hukum, riset pengaturan dengan menggunakan kata kunci/keyword dan terakhir DD formating. Untuk itu pesannya pada Lawyer yang masih newbie sudah mulai menggunakan logical criticalnya untuk menemukan keyword yang tepat agar perannya tidak tergantikan sistem. 

Kuasai teknologi sebelum kita dikuasai teknologi. Agar tidak tertinggal kita harus beradaptasi diantaranya dengan investasi dan memperkuat keterampilan. ~ Andre Rahadian

Jangan Sampai Kecolongan

Yup, bagaimanapun risiko ancaman dan keselamatan selalu mengintai kehidupan. Pun pekerjaan Praktisi Hukum. Situasi ini menuntut peran serta setiap individu untuk melindungi dirinya dari segala kejahatan cyber crime yang bisa menimpa kapan saja. 



Evandri G Pantouw menyarankan untuk selalu membudayakan budaya Cyber Hiegiene. Misalnya jangan pernah menaruh nomor kontak di Instagram. Selalu update rutin semua OS yang digunakan dan hapus aplikasi maupun akun yang sudah tidak digunakan. Pesannya yang terpenting, selalu gunakan pasword yang kuat dan gunakan fitur otentisifikasi dua faktor. 

Selain keterampilan menggunakan teknologi seperti di atas dirinya juga menyampaikan untuk jangan pelit berinvestasi. Sebagai orang yang berkecimpung di bidang praktisi hukum, investasi membeli software antivirus adalah hal krusial. Software antivirus ini wajib ada di komputer yang menyimpan informasi sensitif milik customer. 

Hal-hal sederhana ini ampuh menangkal hacker yang sering menerapkan cyber crime untuk menipu dengan mendapatkan informasi atau rahasia orang lain. So, jangan takut beradaptasi di era revolusi Industri 4.0 buktinya sosok Nona Jung di Drakor Start Up adalah Lawyer yang juga programmer IT, lho! 😍






11 komentar

  1. Zaman now cyber crime menggila ya mbak. Di mana2 ga cuma institusi pemerintahan maupun perusahaan2 swasta dan lembaga2 penting, di rumah pun bisa kecolongan data2 rahasia dan penting. Sepertinya mesti ditangkal dengan menyiapkan software antivirus. Teknologi canggih bisa bermanfaat ataupun sebaliknya, tergantung sumber daya manusia juga.

    BalasHapus
  2. Iya, mba kita ga perlu menghilangkan mesin (disini mba tulis sebagai internet) karena kita lumayan terbantu untuk riset-riset sebelum mengambil keputusan. Tapi sumber daya manusia juga diperlukan.

    BalasHapus
  3. Wahh, iya nih jadi inget program SamSan Tech waktu Hackaton di Sandbox!
    Menarik sekali fakta ini mba: sejatinya internet jangan dianggap menjadi ancaman tapi peluang. Karena di Amerika sendiri peran mesin sangat membantu sekali dalam membuat riset. dan banyak yang menggunakan kemudahan teknologi Artificial Intelligence.
    Semoga teknologi bisa membantu memudahkan banyak orang yaaaaa

    BalasHapus
  4. Di era revolusi industri 4.0 ini semua memang terasa lebih praktis dan canggih ya. Manusia itu tinggal ada niat serta kemauannya. Tidak sesulit jaman sebelum ada telepon di kehidupan kita

    BalasHapus
  5. Setuju, banyak hal harus mulai digitalisasi, agar ngga ada lagi ungkapan "kalo bisa dilamain kenapa ngga? "
    Sehingga muncul korupsi disana sini
    Semoga era itu segera tiba ya?

    BalasHapus
  6. Start-Up jadi relate banget dengan materi yang mbak bahas terkait hukum :D

    Di era serba digital saat ini, dunia hukum dan cyber akan selalu punya hubungan erat. Ada banyak celah yang akan mengarah ke sana, apalagi sekarang model investasi, asuransi, dan lainnya sudah serba digital, data rahasia ada di mana-mana, dan itu akan menjadi berbahaya jika tak ada payung hukum yang melindungi.

    BalasHapus
  7. Kebetulan aku calon notaris dan suamiku juga berprofesi sebagai notaris. Ibu Irma sendiri adalah salah satu notaris senior favoritku hehe menurut pandanganku sampai secanggih apapun profesi notaris sulit digantikan, pernah dijelaskan oleh dosenku di FH UGM katanya ada yang tidak bisa digantikan oleh manusia yaitu nurani dan akal. Sejauh ini keinginan penghadap dalam melakukan perbuatan hukum di bidang kenotariatan unik banget makanya antara satu akta dan akta lain bisa jadi klausul/pasalnya berbeda meskipun jenis aktanya sama. Dinamika ini sulit rasanya dipecahkam oleh AI, karena biasanya kasus per kasus diperlukan nurani notaris untuk melihat kebenaran penghadap. Kadang nih ada orang mau turun waris sengaja ga mau mendatangkan ahli waris lain biar dia bisa menguasai harta, bayangin klo Robot yg ngerjain akta itu bisa jadi los los aja, susah kan memfilter kehendak orang.. makanya profesi notaris masih longlast sejak ribuan tahun lalu sampai skrg meskipun sudah banyak perubahan zaman yg terjadi, bahkan sampai profesi notaris tertulis dalam Al quran.. Wallahualam bis showab

    BalasHapus
  8. Memang setiap hal yang ada di dunia ini punya dua sisi ya kan kak.. kalau memang bisa di ambil positifnya harus kita manfaatkan semaksimal mungkin. namun sisi negatifnya juga harus kita hindari dan kita cari caranya agar sisi negatifnya bisa kita atasi. Inilah tantangan kita.

    BalasHapus
  9. Masalah password nih kadang bikins esuatu yang gampang diingat saking banyaknya password yang bertebaran. padahal harusnya bikin yang susah ya

    BalasHapus
  10. setuju banget nih pesannya Pak Andre itu, kita harus bisa menguasai teknologi sebelum teknologi lah yang menguasai kita ya. Apalagi di jaman nyaris serba digital ini ya.

    BalasHapus
  11. Wah iya mbak, perlindungan terhadap data2 penting milik klien itu pentinv banget, hacker sekarang makin canggih aja jadi kita pun harus bisa protec data2 kita pribadi maupun milik klien

    BalasHapus