Pentingnya Peran Media Dalam Memerangi Stigma Kusta dan Disabilitas Serta Diskriminasi yang Menyertainya



Penyakit kusta masih menjadi momok tersendiri di sebagian kalangan masyarakat. Minimnya informasi tentang penyakit ini ditambah tingginya stigma dan diskriminasi yang dialami membuat negara kita masih jauh dari target menuju Indonesia bebas kusta. Beruntung saya bisa menyimak bincang-bincang sekaligus peluncuran Proyek Suka sebuah media #SuaraUntukIndonesiaBebasDariKusta pada 14 April 2021 lalu. Hmmm, apakah penting peran media dalam memerangi stigma kusta dan disabilitas serta diskriminasi yang menyertainya? 

"Masih panjang perjalanan kita menuju Indonesia Bebas Kusta. Setiap tahunnya peringatan Hari Kusta 2021 yang jatuh setiap akhir Januari hanya menjadi seremoni sesaat. Setelah itu lupa. Semangatnya hilang. Kami mengevaluasi selama dua tahun dan ditemukan fakta-fakta terkait penyakit Kusta," demikian kata sambutan dari Asken Sinaga, Direktur NLR Indonesia. NLR Indonesia adalah organisasi nirlaba atau LSM yang mendorong pemberantasan kusta dan inklusi bagi orang dengan disabilitas termasuk akibat kusta yang memulai kegiatannya pada tahun 1975. 

Asken menyampaikan, proyek SUKA lahir dari rasa prihatin melihat  saat ini tenaga ahli di bidang kusta semakin sedikit, baik untuk tenaga medis maupun konsultan yang menangani psikis penderita. Dan NLR Indonesia melihat dinamika jaman telah berubah. Sehingga media sosial dan internet seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik untuk mengedukasi masyarakat tentang penyakit kusta. 



Hal senada diungkapkan Citra Dyah Prastuti Pemimpin Redaksi KBR Indonesia,  "Selama 22 tahun berdiri, KBR Indonesia konsisten mendorong isue cerita dan karya yang melibatkan kelompok yang terpinggirkan." KBR adalah akronim dari Kantor Berita Radio yang memproduksi podcast dan konten radio berbasis jurnalisme yang berjejaring dengan 350 radio di Indonesia. 

Ada beberapa podcast dengan topik sensitif yang diangkat KBR. Misalnya pembahasan perempuan, Papua, dan HAM ; kelompok minoritas sexual dan kesehatan mental. Topik menarik mengenai stigma penderita kusta dan disabilitas serta diskriminasi yang menyertainya tak luput diangkat. 





Membuka akses seluas-luasnya agar informasi sampai secara tepat, KBR berinisiatif menyediakan podcast dengan teks yang bisa dibaca percakapannya oleh teman-teman disabilitas. "Inilah yang menjadi tugas kami untuk mengedukasi dan mengkampanyekan hal-hal sensitif seperti ini. Dan perlu diketahui, hal sensitif ketika diangkat menjadi sumber berita dalam liputan membutuhkan pengetahuan tersendiri. Kami harus memahami dengan baik apa yang dialami dan apa yang dibutuhkan narasumber dan merangkumnya dalam berita dengan menggunakan diksi yang tepat," pungkas Citra Dyah Prastuti. 

KUSTA MASIH ADA

Bicara soal penyakit Kusta, faktanya Indonesia menempati rangking ke tiga dengan jumlah pasien kusta terbanyak di dunia. Ironisnya target eliminasi Kemenkes pada 2021 - 2022 masih belum tercapai dimana kasus baru kusta pada anak mencapai 9,14%, masih ada 9 provinsi yang belum bebas kusta dan jumlahnya mencapai 20 ribu orang. 

dr. Christina Widaningrum, M.Kes - Technical Advisor Program Leprosy Control, NLR Indonesia, menyampaikan, "penyakit kusta adalah menular menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae). Bukan karena kutukan, bukan juga penyakit keturunan. Penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi dan jaringan tubuh lain kecuali otak. Kabar gembiranya penyakit ini dapat disembuhkan tanpa cacat bila berobat sedari dini." 




Ada dua jenis penyakit kusta yang dikenal dengan kusta basah (gejalanya terlihat) dan kusta kering (non gejala). Penularannya terjadi melalui pernapasan dari penderita kusta yang tidak diobati dan adanya kontak yang erat dan cukup lama. Untuk memutus rantai penularan, bila ada anggota keluarga yang terkena kusta maka anggota keluarga lainnya bahkan ke lingkungan terdekat di luar yaitu tetangga sebaiknya memeriksakan diri ke pusat layanan kesehatan. 

Dikatakannya lagi, penyakit kusta merupakan penyakit menular yang tidak mudah menular. Dari 100 orang terpapar faktanya 95 orang kebal dan 5 orangnya lagi sakit dimana 3 orang diantaranya bisa sembuh sendiri dan 2 orangnya lagi sakit dan butuh pengobatan. 

Jadi sebenarnya tidak perlu kuatir berlebihan sampai harus mendiskriminasi penderita Kusta dengan memisahkan alat makannya bahkan mengucilkan. 

Gejala kusta ditandai adanya bercak putih seperti panu atau kemerahan pada kulit, mati rasa, tidak gatal dan tidak sakit. Gejala lanjutnya ditandai dengan kecacatan pada organ tubuh karena kumannya sudah menyerang saraf tepi : 

- mata tidak bisa menutup bahkan ada yang sampai buta. 

- tangan dan kaki yang diawali dengan mati rasa di telapak, jari-jarinya kiting, memendek, putus, lunglai hingga kakinya semper. 

Beliau menyarankan, bila ditemukan gejala kusta yang ditandai dengan adanya bercak putih segeralah periksakan diri. Jangan suka menunda-nunda sehingga gejala jadi makin berat sehingga sulit diobati. Jangan lupa, imunisasi BCG pada bayi meskipun memiliki efek kecil tapi cukup berpengaruh terhadap kekebalan seseorang dari kuman kusta. 

Ia pun berharap media dan blogger dapat berperan dengan caranya masing-masing untuk menyuarakan pemahaman dan awarenes kusta dan konsekwensinya. Karena masalah sosial yang terjadi pada penderita kusta dan mantan penderita masih menjadi persoalan tersendiri. Bayangkan bila mereka merasa tidak ada lagi harapan dan mencoba bunuh diri saking ga kuatnya menghadapi stigma dan diskriminasi? Ada yang bercerai setelah terdiagnosa terkena kusta, diusir dari sekolah dan rumahnya, dikucilkan sampai ada yang memilih menikah dengan sesama penderita kusta (terutama yang cacat) karena sudah tidak punya kepercayaan diri lagi 😭

Memahami Kembali Kode Etik Jurnalistik 

Dari berbagai pemberitaan di media mengenai kusta, Sasmito Madrim - Ketua Umum AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia mengakui sampai saat ini masih banyak media yang masih menggunakan diksi-diksi yang tidak manusiawi. Padahal ada kode etik yang menyebutkan, daripada menggunakan kata cacat jiwa atau cacat jasmani, alangkah baiknya menggunakan istilah penyandang disabilitas. Orang gila diganti dengan istilah orang dengan gangguan jiwa. 




Disampaikan lebih lanjut, pada dasarnya penderita kusta dan penyandang disabilitas tidak mau dikasihani. Mereka manusia juga yang punya hati dan emosi. Untuk itu dalam membuat dan menyiarkan berita, jurnalis dilarang berprasangka, mengejek atau menggiring opini-bahkan melalui judul berita sekalipun-yang justru membuat orang takut dan jadi malah membuat stigma baru dari situ. 

Lutfi Anandika Jurnalis Majalah Diffa menambahkan betapa perlunya media memahami dan peka tentang orang dengan disabilitas. Jadikan nara sumber sebagai subyek berita, bukan sebagai obyek berita. Tanyakan bagaimana perasaannya, apa yang dibutuhkannya. Andaikanpun narasumber menggunakan penerjemah tetap adakan kontak mata dengan narasumber, bukan ke arah penerjemah. 

Mana di antara foto ini yang tidak memvisualkan disalibilitas seseorang? Jawabannya foto pertama. 


Sudut pengambilan foto yg terbaik ada di foto atas karena tidak memvisualkan charity atau belas kasihan dan memposisikan disabilitas sebagai obyek 

Ada dua langkah yang dapat dilakukan media untuk membantu meningkatkan kepercayaan diri penderita kusta dan penyandang disabilitas dan untuk masyarakat luas dapat mengetahui informasi kusta dengan tepat sehingga tidak mudah termakan stigma dan berujung dengan diskriminasi : 

1. pelatihan menggali kemampuan jurnalis dan etika jurnalistik. 

Dalam pelatihan ini jurnalis diajak memiliki pemahaman atau perspektif soal disabilitas sehingga mereka dapat menggunakan diksi-diksi yang manusiawi dalam pemberitaan. Selain itu jurnalis juga diajak menghindari pengambilan foto narasumber penderita kusta atau penyandang disablitas yang melibatkan unsur kasihan. Misalnya pada tuna netra untuk tidak mengekspos bagian matanya. Atau misalnya moment pembagian sedekah atau donasi. Hindari mengambil foto momen serah terima hadiahnya. Ingat, mereka tidak ingin dikasihani. 

2. Jangan hanya meliput dan memberitakan di momen tertentu misalnya peringatan hari kusta tapi terus konsisten setiap saat. Dengan demikian diharapkan awareness masyarakat tentang kusta makin meluas sehingga diskriminasi-diskriminasi dapat dihindari. 

"Terlepas dari latar belakangnya, disabilitas adalah manusia juga yang harus dihormati termasuk di dalam frame dan karya jurnalistik. Kalau media selalu mengambil sudut berita dalam eksploitasi dan charity ya kapan majunya? Marilah kita tidak hanya memberi atau melakukan sesuatu untuk disabilitas tapi juga menjadi agen perubahan untuk mengubah persepsi yang salah di masyarakat," tegas Lutfi. 


Tidak ada komentar