Wujudkan Pendidikan Ramah bagi Anak Disabilitas dan Kusta Sekolah Inklusif Hadir di Manggarai Barat

Source : freepic

Jujurly, stigma masyarakat dan diskriminasi mengenai penyakit kusta masih sangatlah tinggi. Bahwa penyakit kusta adalah penyakit kutukan. Bahwa penyakit kusta adalah hukuman dari Tuhan atas dosa yang dilakukan pengidapnya atau diturunkan dari nenek moyangnya sehingga harus dijauhi. Harus diasingkan. 

Tidak heran ya bila negara kita masih dihadapkan dengan berbagai tantangan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit kusta. Dan yang lebih mengagetkan berdasarkan data WHO tahun 2020 diketahui Indonesia masih menjadi penyumbang kasus baru kusta nomor 3 terbesar di dunia dengan jumlah kasus berkisar 8% dari kasus dunia. 

Yup, hingga saat ini diketahui masih banyak kantong-kantong kusta di berbagai wilayah di Indonesia. Sebanyak 9.061 kasus baru kusta ditemukan di Indonesia, termasuk kasus baru kusta pada anak. Per 13 Januari 2021 lalu, kasus baru kusta pada anak mencapai 9,14%. Angka ini boro-boro mengejar target eliminasi kusta, bahkan nyatanya target pemerintah yaitu di bawah 5% pun belum tercapai. 

Akibatnya imbas yang dirasakan berdampak luas pada penderita kusta. Mulai dari pengucilan, keengganan membeli atau menerima barang dari penderita kusta, berjabat tangan hingga pemecatan di tempat kerja. Terlebih pada anak, siapa yang tidak prihatin membayangkan masih banyaknya anak penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan dan perlakukan yang salah, baik dalam hal pendidikan hingga lingkungan sosialnya. 

Dengan keterbatasan yang dimiliki anak dengan disabilitas dan kusta, perlu adanya komitmen seluruh pihak untuk memastikan anak mendapatkan pengasuhan dan pendidikan yang baik. Memastikan tumbuh kembangnya berjalan optimal, memiliki masa depan yang baik, tidak lagi dibedakan dengan anak non disabilitas lainnya dan tentunya mendapatkan hak pendidikan yang inklusif. 

Lalu bagaimana dengan upaya pemenuhan hak dan pendidikan yang inklusi pada anak dengan disabilitas dan kusta dapat segera terwujud?

Sekolah Inklusif Hadir di Manggarai Barat 

Beruntung saya berkesempatan menonton dari link Youtube Berita KBR yang disiarkan langsung pada 21 Oktober 2022 bertajuk "Pendidikan Bagi Anak dengan Disabilitas dan Kusta" dengan narasumber : 

1. Anselmus Gabies Kartono - Yayasan Kita Juga (Sankita)

2. Frans Patut S.Pd - Kepala SDN Rangga Watu Manggarai Barat

3. Ignas Charly - Siswa Kelas 5, SDN Ranggawatu Manggarai Barat

Atas kanan : Frans Patut, bawah kanan : Ignas Charly

Frans Patut, S.Pd menuturkan, SLB di daerahnya di kabupaten Manggarai Barat sangat minim dan aksesnya sangatlah jauh. Di sisi lain ada banyak anak berkebutuhan khusus usia sekolah. Untuk itu SDN Rangga Watu termovitasi untuk memberikan dan memfasilitasi pendidikan inklusif di SDN Rangga Watu. 

Frans menambahkan, SDN Rangga Watu telah mendapatkan SK penyelenggaraan sekolah inklusif sejak tahun 2017. Namun sebetulnya penerapannya sudah dilakukan jauh-jauh hari tapi belum memiliki dasar hukum yang kuat sampai berhasil mendapatkan SK Penyelenggaraan tersebut. 

Saat ini SDN Rangga Watu telah menampung 7 anak berkebutuhan khusus diantaranya Ignas Charly yang saat ini duduk di bangku kelas 5 SD. Ignas menceritakan, ia sangat senang bersekolah.  Selain bisa belajar dengan leluasa, ia juga bisa mendapatkan teman baru dan tidak mendapat perlakuan berbeda dari teman-teman termasuk guru-guru. 

Yayasan Sankita Wujudkan Pendidikan Ramah Anak Disabilitas

Yayasan Sankita merupakan organisasi yang berdiri sejak tahun 2007 dan bertransformasi menjadi yayasan pada tahun 2017. Ini adalah organisasi masyarakat yang concern dengan orang-orang disabilitas. 

Dalam penyelenggaraannya, Yayasan Sankita bergerak menggunakan metode CBR atau Community Based Research. 

Nah, melalui penelitian-penelitian dari kunjungan ke sekolah-sekolah di Manggarai Barat Anselmus Gabies Kartono menemukan ada banyak anak disabilitas usia sekolah yang terpaksa putus sekolah atau justru tidak disekolahkan orang tuanya. Tak hanya itu, ia menemukan minimnya sumber daya untuk mendukung anak-anak berkebutuhan khusus, baik dari kesiapan guru maupun sarana dan prasarana sekolah. 

Faktor-faktor tersebutlah yang kemudian melatarbelakangi Yayasan Sankita untuk hadirkan sekolah inklusif di SDN Rangga Watu. 

Dari hulu ke hilir Yayasan Sankita dan SDN Rangga Watu melakukan sejumlah sosialisasi terhadap warga sekolah mulai dari guru-guru, komite hingga orang tua murid agar memahami apa itu sekolah influsif. 

Akhirnya, melalui sosialisasi-sosialisasi diperoleh suara bulat untuk menjadikan SDN Rangga Watu menjadi sekolah inklusif. Oh iya buat yang belum paham, sekolah inklusif adalah sekolah dimana anak-anak berkebutuhan khusus bisa mendapatkan pelajaran dan pendidikan bersama dengan anak-anak yang tidak berkebutuhan khusus. Jadi anak berkebutuhan khusus bisa memilih bersekolah di SLB atau di sekolah inklusif.

Tantangan para pendidik tentu bukanlah hal yang mudah mengingat umumnya para guru sebelumnya hanya memiliki kemampuan basic mengajar siswa. Akan tetapi dengan pembekalan  edukasi dan pelatihan akhirnya mereka memahami bagaimana menangani anak disabilitas di sekolah.

Yup kita tahu bahwa anak disabilitas dan kusta berbeda dari anak pada umumnya. Para guru SDN Rangga Watu diajak mengenali apa itu ABK, aja saja jenisnya dan apa saja permasalahan serta kebutuhannya. Dengan identifikasi yang tepat maka dengan mudah guru dapat membuat perencanaan dan strategi ajar. 

Misalnya begini, ada anak disabilitas dengan masalah penglihatan namun masih memiliki kemampuan melihat. Guru dapat membuat strategi-strategi menarik misalnya membuat huruf lebih besar saat mengajar atau menempatkan anak disabilitas di bangku depan atau dekat dengan gurunya. 

Selain memberikan pelatihan kepada tenaga pendidik, Yayasan Sankita juga siap melakukan pelatihan pemberdayaan dan kesehatan untuk memotivasi orang tua dengan anak disabilitas untuk mau menyekolahkan anaknya di SD Negeri yang menyelenggarakan pendidikan inklusif seperti SDN Rangga Watu. 

Dalam hal ini Yayasan Sankita memperlihatkan dengan bahasa tidak tertulis bahwa di sekolah pun ada guru yang normal dan juga ada guru disabilitas. Kesetaraan yang diperlihatkan diharap bisa menjadi motivasi bahwa siapapun bisa punya masa depan. Anak disabilitas tetap bisa berkarya dan bermanfaat di lingkungan masyarakat. Diharapkan dengan cara ini stigma masyarakat mengenai kusta dapat terkikis. 

Tidak ada komentar