Kajian dan Diskusi ICMI : Pro Kontra Power Wheeling dalam RUU EB ET

 


Power Wheeling merupakan mekanisme yang mengizinkan perusahaan swasta atau Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri.

Skema Power Wheeling sudah lama menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Di satu sisi skema power wheeling dinilai memberi dampak positif terhadap pengembangan Energi Baru Terbarukan. Terbukti hasilnya telah diterapkan di beberapa negara antara lain Amerika Serikat, Meksiko dan lain-lain.

Di sisi lain, ada yang menganggap skema tersebut tidak adil dan sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia. Tentunya ini tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 45 mengenai "hajat hidup orang banyak". Skema ini menjadi sorotan karena dinilai menguntungkan perusahaan swasta dan berpotensi mengganggu ketahanan energi nasional.

Adanya perbedaan pandangan yang tajam ini menunjukkan bahwa konsep Power Wheeling belum matang dalam konteks implementasinya di Indonesia. Apakah sudah saatnya skema itu dipraktikkan di Indonesia? Apakah Power Wheeling perlu untuk dimasukkan dalam RUU EB-ET yang mendesak untuk segera disahkan oleh DPR?

Sebelumnya pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menghapus daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU EB-ET dikarenakan pembahasan mengenai power wheeling tidak ada. Namun kewajiban untuk menyediakan energi baru bersih kedalam sistem, wajib dilaksanakan.

Karenanya PUSPINEBT ICMI menggelar kajian dan diskusi publik bertajuk "Pro Kontra Power Wheeling Dalam Rangka Rancangan RUU EB-ET" di Hotel Fiducia Pasar Minggu, Jakarta, 28 September 2023. Acara tersebut diikuti peserta dari berbagai kalangan baik secara online maupun offline dengan menghadirkan para pakar di bidangnya.



Dalam sambutannya Anggota Komisi VII DPR RI/Sekretaris Jenderal ICMI, Dr. Ir. Andi Yuliani Paris menyebut lima K yang harus ada dalam elektrifikasi, yaitu :
1. Kecukupan,
2. Kehandalan digitalisasi,
3. Keberlanjutan,
4. Keterjangkauan,
5. Keadilan.

"Kecukupan tentunya terkait dengan kebutuhan listrik nasional. Mengingat geografis kita adalah kepulauan maka pemerintah harus menghitung perencanaan kebutuhan listrik nasional," kata Andi Yuliani Paris.

"Berikutnya adalah faktor keberlanjutan dan keterjangkauan. Ini menyangkut mengenai EBT. Pemerintah bukan hanya sekedar menyediakan EBT tapi apakah harga listriknya terjangkau oleh masyarakat? Dan terakhir mengenai keadilan. Kita berharap dapat meningkatkan rasio elektrifikasi. Di Wajo, ada 8000 rumah sampai saat ini belum memiliki listrik," ungkapnya.

Ia pun berharap kontroversi Power Wheeling tidak berlarut-larut sampai pengesahan UU EBET terbaru tiba.



Liberasasi dan Privatisasi
Dimoderatori Direktur PUSPINEBT ICMI Irwanuddin HI Kulla hadir narasumber :
1. Guru Besar IPB University/ Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat - Prof. Dr. Didin Damanhuri,
2. Direktur Center for Energy Security Studies (CESS) - Dr. Ir. Ali Ahmudi Achyak,
3. Kepala Center of Food Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) - Abra Talattov.

Berdasarkan riset INDEF Abra Talattov mengangkat fakta dan justifikasi Kementerian ESDM terhadap penerapan Power Wheeling, yaitu :
1. Memberikan sinyal positif pada pasar global tentang keseriusan Indonesia mendukung prinsip ESG (Enviromental, Social, Governance) menuju ekonomi hijau.
2. Meningkatkan daya saing di pasar global
3. Mengacu pada pengalaman implementasi RUPTL, sangat sulit mencapai sukses rasio yang tinggi maka Power Wheeling dapat menjadi akselerator penerapan EBT.
4. Sebagai back up plan apabila PLN tidak bisa menyediakan listrik hijau.
5. Indonesia memiliki potensi EBT paling besar di ASEAN dan kawasan memerlukan suplay listrik green untuk transisi dari fossil based ke green energy.
6. Mengantisipasi perkembangan perdagangan listrik hijau lintas kawasan ASEAN (conectivity). Indonesia sangat potensial menjadi exportir listrik EBT kawasan ASEAN, sehingga perlu kesiapan infrastruktur pendukung dan mekanisme yang fleksibel.
7. Menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan utama investasi energi terbarukan dan industri green product di kawasan ASEAN.
8. Mengantisipasi penerapan pajak karbon internasional.

Namun menurutnya ide penerapan Power Wheeling tidak relevan mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat over suplay yang terus melonjak hingga menyentuh 6-7GW pada tahun 2022. Lonjakan akan semakin tinggi di tahun 2026 dikarenakan ada penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW sebagai implikasi megaproyek 35Gw yang berimbas pada kesehatan keluarga negara.

Hal senada disampaikan Direktur Center for Energy Security Studies (CESS) Dr. Ir. Ali Ahmudi Achyak mengenai  mekanisme Power Wheeling yang tidak ada unsur urgensinya sehingga harus ada dalam UU EBET.

Menurutnya, selain kondisi oversuplay namun nyatanya RUPTL 2021 - 2030 telah cukup menyediakan alokasi bagi porsi EBT yaitu 51,6% dibanding non EBT 48,4%. Dengan porsi pembangkit EBT sebesar 20,9GW serta komposisi pengembangan porsi  EBT swasta sebesar 56,3% ia yakin PLN siap memenuhi energi bersih.

Ia juga menyampaikan kekuatirannya terhadap mekanisme Power Wheeling dimana sistem tarifnya ditentukan oleh pasar sehingga dapat menyebabkan mahalnya harga listrik. Dengan demand yang tinggi namun supply-nya tetap maka tarif listrik pasti akan dinaikkan. Akibatnya beban APBN bertambah dan merugikan masyarakat.

"Power wheeling merupakan liberalisasi kelistrikan yang melanggar Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 bahwa: cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara" ~ Direktur Center for Energy Security Studies (CESS) Dr. Ir. Ali Ahmudi Achyak.

Listrik bukan lagi menjadi kepentingan umum dan sesuatu yang penting dijaga negara. Dengan demikian negara tidak mempunyai kedaulatan energi lagi. Alih-alih mewujudkan ketahanan energi nasional Power Wheeling hanya melemahkan kinerja pemerintah dalam hal ini PLN.

Senada, Guru Besar IPB University/ Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat - Prof. Dr. Didin Damanhuri menyoroti soal privatisasi terselubung dalam skema Power Wheeling.

Menurutnya, manufaktur Indonesia harus belajar dari krisis ekonomi 1998 lalu yang hingga saat ini masih menghadapi kondisi yang sangat berat yaitu proses deindustrialisasi.

Ia berharap Indonesia tak lagi menjadi follower dalam proses globalisasi. Skema power wheeling  diduga menjadi upaya konglomerasi, privatisasi dan liberalisasi terselubung.

Indonesia harus belajar dari pengalaman negara-negara yang telah melakukan privatisasi di sektor ketenagalistrikan. Jangan sampai terjadi blackout seperti di California akibat kebangkrutan pembangkit listrik swasta.

Tidak ada komentar